Selasa, 31 Desember 2013

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK (Sumpah Mati Yang Terus Terngiang)



Awalnya gue milih nonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dari update status temen yang bilang kalo sinematografinya juara. Meski gue anak sastra dan novel Buya Hamka jadi bacaan wajib, jujur gue belom pernah baca meski novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck selalu muncul di forum-forum diskusi. Apa yah, gue emang suka mendadak migrain kalo baca novel yang gaya bahasanya kayak hikayat.




Bagian-bagian awal film rasanya agak biasa aja, nothing special, aneh, gelap, monoton, apalagi dialognya pakek bahasa Bugis. Meski ada terjemahannya, tapi agak bosenin juga karena bahasa tersebut benar-benar asing di blantika kehidupan gue :D

Kemudian, ketika cerita mulai beralih ke Padang Panjang, nah dari situlah visual ceritanya mulai bagus, soalnya setting cerita mulai agak modern. Mulai nyimak dengan serius. Mulai termehek-mehek ketika akhirnya Hayati harus menikah dengan Aziz, dan Zainuddin jadi hampir setengah gila.

Percakapan yang paling gue inget adalah kata-kata Hayati ketika dia dan Zainuddin terjebak hujan setelah pulang mengaji.

"PANAS PASTI ADA TEDUHNYA, HUJAN PUN PASTI ADA REDANYA"
Bagi gue, quote itu semacam "setelah kesempitan pasti ada kemudahan" atau "badai pasti berlalu".

Makin menggembirakan ketika Zainuddin yang awalnya dihina-dina dan terpuruk, memilih bangkit hingga akhirnya menjadi penulis best seller dengan novel berjudul Teroesir. Dia pun akhirnya diminta untuk menjadi kepala sebuah biro percetakan di Surabaya. Latar cerita pun akhirnya bergeser ke Jawa Timur.

Zainuddin menemui masa kejayaannya. Berkat dukungan Bang Muluk juga, dia bisa membeli rumah megah dengan harga murah karena status rumah tersebut adalah sitaan negara yang dilelang. Karena Bang Muluk juga, Zainuddin mengubah penampilan kampungnya menjadi semacam eksekutif muda yang masyur.

Dari segi cerita, film ini benar-benar klasik. Percakapannya pun menggunakan bahasa Indonesia ejaan lama. Dan bener apa kata temen gue, sinematografinya juara! Bener-bener berasa megahnya. Tapi perlu digaristebal dan digarisbawahi kalo film ini BEDA sama Titanic. Beda banget! Meski posternya nampilin kapal yang tenggelam, tapi nggak ada sama sekali tayangan mati-matian mempertahankan hidup dari hempasan badai.

Buat gue pribadi, gue banyak ambil inspirasi dari Zainuddin. Meski sebenernya dia adalah lelaki yang dianggap tak bersuku, tak berlembaga, dan tak beradat, dicaci orang ke sana ke mari hingga sakit, tapi dia tetap bertahan hidup, menumpahkan segala kisah dan perasaannya ke dalam sebuah buku yang akhirnya membawa dia pada kesuksesan. Yep, dalam hidup mustahil manusia bisa menyenangkan semua orang. Pasti ada yang nggak suka, benci, juga dendam. Sakit hati pasti, tapi kesakitan itu akan berbalas manis suatu saat nanti.

Dan yang gue sebel adalah lirik sumpah mati... sumpah mati... yang dinyanyiin Nidji tetep terngiang di telinga. Nggak bisa ilang T___T

Rating: 4,8 dari 5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar