Kenanganku bersamanya tidak begitu mendalam, aku hanya sebulan di Sabang. Nama resminya adalah Eggy Dadan Gunawan. Dua bilah terakhir namanya adalah nama suaminya, di mana ketika aku berada di Pulau Weh, Bapak menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Maimun Saleh.
Rumah yang kutinggali ketika berada di Sabang bisa dibilang berada di belakang rumah dinas Danlanud. Meski sangat dekat, namun aku hanya sekali saja masuk ke rumah terbesar di jajaran Komplek Angkasa tersebut. Suamiku sempat menjabat sebagai sekretaris pribadi Danlanud, barangkali kedekatan itu juga berimbas pada keramahan Ibu Eggy kepadaku. Entahlah, aku juga tak terlalu yakin, sebab menurutku Bu Eggy selalu baik kepada siapa saja. Tanggal lahirku persis dengan tanggal lahirnya, hanya beda tahun.
Bu Eggy selalu berusaha ‘meng-entertaint’ anak-anak baru sepertiku. Itulah istilahnya untuk membuat para istri baru tidak merasa stress dan depresi hidup di pulau terpencil, apalagi jika seumur hidup kau terbiasa hidup di tengah hiruk pikuk kota, dengan fasilitas mall, bioskop, dan ratusan tempat refreshing yang bisa kau temui di tiap sudut jalan. Kau tidak akan menemui semua itu di pulau ini. Pulau ini bahkan tak mempunyai akses Indomart, meskipun ada beberapa swalayan kecil yang menyediakan kebutuhan hidup sehari-hari. Weh hanya mampu menyuguhkan keindahan laut suprafantastis yang takkan kau temui di belahan bumi Indonesia lain.
Salah satu bentuk ‘entertaining’ yang Ibu lakukan padaku adalah menjamuku berpelesir ke Banda Aceh. Untuk bisa ke Banda Aceh, seperti biasa, kami harus menyeberang laut dengan menggunakan kapal motor. Kau pasti tahu, barangkali di Jawa, pelabuhan adalah satu titik laut yang keruh dan kotor. Tapi tidak di sini. Inilah Balohan, wilayah pelabuhan yang masih sangat bersih, di mana ikan-ikan masih terlihat jelas terlihat dari pantulan laut yang jernih. Kau mungkin tak percaya. Jadi untuk memercayainya kau harus datang membuktikan ke sana sendiri.
Ibu adalah sosok yang sangat terbuka dan bersahabat. Di luar kegiatan formal, ia tak pernah menyuruhku memanggilnya dengan ‘Bunda’, ‘Ibu’, atau sebutan hormat lainnya. Ia lebih menganggapku adik dengan saling memanggil ‘sis’.
Ia juga tak segan-segan bercerita tentang keluarga, juga kisah cintanya. Ia adalah pencerita yang baik, aku selalu senang menyimak celotehannya. Aku ingat Ibu pernah bercerita, sebelum menikah dengan Bapak, ia menjalin hubungan dengan anak band, namun tak disetujui orangtuanya dengan alasan masa depan suram. Lalu bagaimana suka dukanya menjalani 14 tahun hubungan jarak jauh dengan suami. Semua Ibu ceritakan pada kami tanpa berlebihan menjaga image. Iya, kami, sebab waktu itu kami jalan-jalan berempat, dua yang lain juga merupakan Ibu-Ibu dari Komplek Angkasa.
Begitu sampai di Banda Aceh, kami sudah dijemput oleh sopir. Kata Ibu, sopir tersebut adalah salah satu keponakan Maimun Saleh. Pak sopir yang kulupa namanya tersebut menjadi guide dadakan, ia begitu fasih menceritakan setiap sudut Banda Aceh yang kami lewati.
Agenda pertama kami adalah berburu souvenir. Sepertinya souvenir adalah sesuatu yang wajib diberikan ketika akan ada pejabat pusat yang datang berkunjung. Kami memasuki sebuah toko souvenir khas Aceh yang kulupa namanya, tapi kelihatannya toko ini sudah menjadi langganan Ibu.
Lalu kami ke tempat cetak foto, berbelanja roti dan kue, makan es krim di Pante Perak, makan siang, ke masjid besar Baiturrahman, beli kulkas, ke museum tsunami, dan mengunjungi monumen kapal yang dulu terseret tsunami ke daratan. Di Pasar Atjeh, ibu membelikanku dua buah hijab. Masih kusimpan dengan rapi dan wangi hingga sekarang meski hanya kadang-kadang saja kupakai.
Aku ingat, waktu itu kami mendapat insiden kecil di masjid Baiturrahman. Seseorang yang kurang waras berteriak-teriak dan menyumpahserapahi kami. Kami terbrit ketakutan. Apa gerangan? Karena kami semua memakai celana. Aku tak paham betul hukum Islam di Aceh. Tapi waktu itu juga sangat banyak pengunjung wanita yang memakai celana di area masjid, tapi mengapa kami yang kebagian apes? Why? Why? Whyyyyyyyy?
Kenangan lain yang tak terlupa adalah ketika HUT PIA Ardhya Garini. Sebagai anak baru, tentu aku belum punya pakaian seragam resmi yang harus kukenakan saat acara. Waktu itu Ibu memintaku hadir untuk dinobatkan sebagai anggota terbaru. Aku dan suami kalang kabut mencari pinjaman baju dan sepatu. Ini adalah acara formal pertama yang kuhadiri.
Ibu juga pernah memintaku menulis puisi. Bukan sembarang puisi, sebab puisi ini akan dimuat ke dalam majalah Varia PIA, media cetak resmi organisasi PIA AG yang akan diedarkan ke seluruh pangkalan udara se-Indonesia Raya. Bagimu mungkin ini tak penting, namun bagiku ini adalah suatu kehormatan, padahal waktu itu aku belum genap setengah tahun menikah dengan suami.
Aku merindukan pulau ini. Pulau yang barangkali tak akan menjadi pilihan tempat tinggal, tapi tempat terbaik untuk melihat laut-laut yang masih perawan.
DI Aceh, memang diberlakukan hukum syariah, untunglah sang ibu cuma teriak-teriak saja ya,
BalasHapusbtw- aku lagi buat GA loh.... siapa tahu berkenan untuk ikutan...
http://hariyantowijoyo.blogspot.com/2013/10/masuk-neraka-siapa-takut.html
salam :-)