Selasa, 28 Oktober 2014

ANAK SD AJA SUDAH PADA BRAND ORIENTED, LHOOO...

Merk menentukan kualitas.

Sebetulnya itu nggak salah-salah amat kok yaa. Kebanyakan barang bermerk memang kualitasnya lebih terjamin. Tapi gimana kalo merk-merk tersebut ternyata sudah meracuni anak-anak SD?

foto: www.hereisfree.com


Tulisan ini nggak ingin mukul rata yaa, cuma sebuah kejadian yang baru saya temukan kemarin sore. Selain pekerjaan pokok, pekerjaan tambahan saya adalah memberi les privat anak-anak sekolah dasar. Kebetulan salah satu murid saya ini adalah anak tunggal dari anggota TNI. Karena sama-sama berasal dari keluarga TNI, jadi sedikit banyak saya tahulah gimana tipe-tipe gaya hidup mereka. Memang ada yang hidupnya sederhana banget, ada juga yang menganut aliran level tinggi.

Ini hanya dugaan. Dugaan ini saya cetuskan setelah beberapa lama mengamati pola topik pembicaraan yang sering ia ungkapkan. Ya, selain belajar, setengah dari kegiatan les privat ini adalah curhat. Saya maklum, dia anak semata wayang. Dia lebih senang ngajak saya ngobrol daripada mengerjakan soal yang saya berikan :D

Dia gemar bercerita tentang teman-temannya, dan barang-barang apa saja yang ia minati. Ini bukan obrolan sepele, dia sering menyebut merk dalam setiap pembicaraannya, lalu membandingkannya dengan merk-merk yang dimiliki teman-teman sekelasnya: merk pulpen yang ia sukai, merk pensil warna yang ia gemari, atau koleksi merk tas yang ia punyai. Di dunia peralatan tulis, merk-merk yang ia sebut memang merupakan konsumsi menengah atas. Saya yakin dia tidak serta merta seorang diri mempunyai topik ini sebagai bahan obrolan, tapi obrolan ini pasti sudah sering ia rumpik'in. Bersama siapa? Ya bersama teman-temannya di sekolah. Saya sempat ter-wow-wow dalam hati. Entah jamannya sudah beda, atau memang dia telah tidak sengaja terdidik sebagai sosok yang brand oriented oleh keluarganya.

Mengapa saya bilang tidak sengaja? Alasan utama jelas, dia anak tunggal. Orangtua pasti akan selalu membelikannya barang-barang terbaik. Meskipun konteksnya bukan anak tunggal, saya yakin setiap orangtua akan selalu memberikan yang terbaik dengan beberapa alasan. Apalagi kalo bukan alasan 'lebih mahal = lebih awet'.

Namun ternyata pemikiran itu sekarang menjadi pisau bermata dua. Karena kebiasaan memiliki merk-merk peralatan sekolah yang branded, akhirnya ada semacam pemikiran bahwa peralatan sekolah merk minimum yang banyak dijual di pasar tradisional adalah semacam sampah yang tak layak beli. Pakai pulpen seharga seribu limaratusan rupiah saya sudah merasa nggak level. Saya takutnya sih dia menganggap remeh teman-teman sekelas yang kebetulan kurang mampu yang tidak bisa membeli peralatan sekolah kelas atas. Yahhh, apalagi kalo anak SD sekarang kan sukanya kalo main itu ngegrup-ngegrup. Di jaman saya aja peristiwa tersebut sudah banyak terjadi. Yang pinter cuma mau main sama yang pinter, yang kaya cuma mau gaul sama yang kaya. Nah kan, akhirnya ada semacam drama sosialita dengan tagline 'you are what you wear'. Jurang sosial sudah mulai menganga di usia mereka yang masih sangat muda.

Lalu gimana ya solusinya? Karena saya belum jadi orangtua, sebenernya saya juga agak bingung ngasih pendapat, takut dikira sok tau. Tidak munafik, ada semacam rasa kebanggaan ketika orangtua mampu membelikan anak-anaknya peralatan sekolah yang mumpuni. Tapi kalo itu akhirnya menjadi pintu masuk sekat kelas sosial di usia mereka yang seharusnya berteman dengan siapa saja, rasanya kok sedih juga yaa. Bagaimana kalo begini saja: belikan anak-anak peralatan sekolah yang bagus, tapi jangan bilang-bilang kalo itu barang branded. Hahaha :D

4 komentar:

  1. Ada mba, temen sy pas sekolah dulu, kalau ngga branded dan ngga ori, ngga mau pake.
    Itu tgt asuhan ortu sih ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mak. Padahal mungkin orangtuanya juga nggak maksud begitu, tapi jadinya malah begono :D

      Hapus
  2. very good article .. cek my blog at www.chicklopediashop.com or www.chicklopedia.blogspot.com if you dont mind

    BalasHapus