Kamis, 26 November 2015

ENJOYING STATE BORDER


Hidup itu dinamik yaa. Tak selamanya kita akan tinggal di kampung tempat kita lahir. Suatu saat pasti merantau dengan berbagai alasan dan tujuan. Sebagai istri tentara, salah satu alasan yang paling mungkin adalah nginthilin suami dinas. Saya pernah mengalaminya. Melanglang jauh ke nol kilometer Indonesia, menuju ke sebuah perbatasan bernama Pulau Weh. 

istri tentara istri TNI AU pacar tentara  suka duka istri tentara istri TNI seragam istri tentara ibu persit ibu PIA Ardhya Garini Ibu Jalasenastri IKKT kisah pendamping militer

Culture shock jelas terjadi. Namun bertahan selama mungkin adalah usaha yang juga gampang-gampang susah. Lalu gimana sih caranya bisa tetep riang gembira menjalani hidup di perbatasan?

 1. TENANG


Hal pertama yang mesti dilakukan tentu saja menenangkan diri. Kita akan jauh dari keluarga, keriuhan, serta dari apapun yang biasa kita lakukan di kota metropolitan. Sekali saja hati galau, kita nggak bisa pulang kampung secepat kilat. Jika ingin kabur dari Pulau Weh, setidaknya saya harus cermat memikirkan jadwal kapal di pelabuhan Balohan untuk menuju Banda Aceh. Di Banda Aceh juga harus menyesuaikan jadwal penerbangan menuju Jakarta. Kemudian dari Jakarta menuju Juanda. Sungguh pelarian diri yang ribet.


2. PINTAR ADAPTASI


Beradaptasi terhadap semua aspek kehidupan yang baru adalah tantangan utama yang harus ditaklukkan. Pada beberapa hari pertama, kita pasti banyak bengong. Berbagai hal terjadi sangat berbeda dengan apa yang kita lihat seumur hidup di daerah asal.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Weh, saya harus langsung membiasakan diri dengan cuaca panas khas daerah pantai. Sungguh rasanya pengen ngamuk terus soalnya saya terbiasa hidup damai di kawasan adem yaitu Malang. Untuk itulah saya harus nempel di dekat kipas angin sepanjang waktu agar tidak badmood.

Tak sampai di situ, saya juga syok abis ketika melihat banyak sapi tidur di jalan raya. Di sini, ternak memang biasa diumbar tanpa gembala di jalanan. Nanti kalau sudah petang pasti balik kandang sendiri. Di sinilah kemahiran saya bermanuver naik kendaraan diuji. Harus selalu waspada kalau-kalau ada sapi mendadak nongol ke tengah jalan. Setidaknya saya bersyukur bahwa jalanan di Pulau Weh sudah beraspal, jadi saya tidak perlu berjibaku melawan becek dan lumpur.

Kejut jantung masih berlanjut. Saya tinggal di rumah dinas yang halaman belakang langsung berbatasan bukit. Sangat sejuk, hijau, dan menenteramkan. Itulah yang saya kira sampai di suatu siang saya menemukan sekompi monyet menyerbu dapur. Sekitar duabelas ekor. Oh mennnn! Rasanya saya seperti tinggal di Nairobi National Park di mana hewan-hewan liar bebas nyamperin tempat tinggal manusia. Monyetnya nakal, mereka pernah mencuri rice cooker milik tetangga. Ada juga yang membuat salah satu tetangga saya patah tulang. Sesekali babi hutan juga berseliweran tanpa dosa (simak cerita saya soal salah satu babi hutan di sini). Untung laut yang ada di halaman rumah saya nggak ada hiu. Kalau ada, lebih baik pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku.

Saya juga harus beradaptasi dengan makanan. Karena Pulau Weh adalah daerah pantai, maka saya harus mulai terbiasa makan ikan-ikanan. Sebagai antisipasi, lebih baik bawa bekal obat antialergi, sebab tubuh kadang menolak menerima makanan yang tidak terbiasa kita makan. Jangan harap pula di perbatasan bisa nemu cemilan enak kayak bread pudding-nya Bread Story, atau berbagai kuliner unik yang bertebaran di setiap tepian jalan seperti di Malang. Lha wong bakul gorengan aja jarang ada. Minyak goreng mahal cuy.

Kebengongan saya tak berakhir sampai di situ. Tiap malam kerap terdengar dengung pesawat terbang. Saya enjoy menikmati suara pesawat mondar-mandir. Mungkin itu pesawat sipil rute Eropa, atau pesawat TNI AU yang sedang latihan terbang malam. Ngapain saya harus merasa ganjil? Lha kan suami saya emang personel angkatan udara. Namun ke-enjoy-an saya bubar setelah suami saya bilang kalau itu adalah pesawat tempur Malaysia. What theeeeeee? Yep. Pesawat mereka memang suka iseng ngintipin Pulau Weh. Katanya sih mata-matain. Duh lakiiiii, lha kok nggak diusir? Dia bilang udah biasa. Mendadak saya merasa kayak hidup di jalur Gaza yang penuh musuh. Eh, mungkin saya terlalu dramatik.

3.HEMAT


Nama lain perbatasan adalah pelosok. Oleh karena itulah harga barang jadi mahal bingit karena alur distribusi yang sangat jauh. Misalnya segalon Aqua yang di Jawa biasa dibandrol limabelasribu rupiah saja, di Pulau Weh harganya bisa sampai empatpuluhribu. Mau minum pakai air tanah juga susah sebab rumah dinas saya tepat di tepi pantai. Airnya payau dan keruh. Nggak tega deh pokoknya kalau mau minum dari air sumur atau tandon.

Harga sayur, lauk, dan semua kebutuhan sehari-hari pada umumnya jadi naik beberapa kali lipat. Sebagai istri, kemampuan managerial keuangan jadi terlatih luar biasa, apalagi buat para newbie. Tiap hari umek ngatur duit buat makan, nggak akan ada pikiran lagi buat beli baju atau sepatu baru. Nggak ada toko yang bagus juga sih soalnya. Jika ingin taubat dari kebiasaan hedon, maka hidup di perbatasan adalah camp rehabilitasi yang paling tepat. Mungkin istilah hedon terlalu berlebihan sih. Tapi semoga paham maksud saya ya.

4. CARI OBAT JENUH


Sekali lagi, nama lain perbatasan adalah pelosok. Boro-boro mall, Indomart aja nggak ada. Jadi kalo pas lagi jenuh-jenuhnya, kita nggak akan bisa shopping atau nonton bioskop. Awkward banget rasanya, apalagi kalau sudah terbiasa hidup gaoel di kota besar.

Kalau lagi pas bosan, kita mungkin cuma bisa utik-utik laptop, lalu main Angrybird sampai bosan lagi. Kalau mau jalan ke Banda Aceh bisa kok, tapi ya harus mau capek mendaki gunung lewati lembah (sori lebay). Jika memang diprediksikan akan lama hidup di perbatasan, saya sarankan cari pekerjaan tetap agar tidak terlalu mati gaya. Jika tidak mau jadi wanita karier, mending daftar jadi pengurus organisasi istri tentara. 

istri tentara istri TNI AU pacar tentara  suka duka istri tentara istri TNI seragam istri tentara ibu persit ibu PIA Ardhya Garini Ibu Jalasenastri IKKT kisah pendamping militer
pemandangan halaman depan rumah yang bikin terharu

Jika tidak mau jadi pengurus juga, mungkin ini waktu yang tepat untu jadi blogger. Sebagai anak yang tumbuh di kota besar, saya yakin kita punya bekal keahlian fotografi (meskipun bukan expert), kemampuan menulis (meskipun bukan expert juga), serta kemampuan untuk ngulik web. Mengeksplore daerah perbatasan, mencari sisi unik, memotret, lalu menuliskannya ke dalam blog saya pikir akan jauh lebih bermanfaat daripada ngrumpi sama tetangga. Jika nasib berpihak, cerita kita bisa jadi buku loh.



5 JAGA KESEHATAN


Menjaga diri agar tetap sehat akhirnya menjadi hal terpenting. Biasanya kita akan drop bukan karena cuaca atau nyamuk malaria, tapi homesick. Hahaha. Inilah konsekuensi pilihan: hidup terbatas tapi seatap sama suami, atau memilih LDR dan kita bisa hidup enak di kota besar bareng pelukan orangtua.

Oleh karena itulah, kita harus tetap makan meski nggak nafsu, harus tetap tidur meski insomnia. Sakit yang dibuat sendiri, akibatnya ya tanggung sendiri, apalagi kalau fasilitas kesehatan juga sangat terbatas, rumah sakit jauh pula.

FAQ

1. Apakah di perbatasan susah sinyal?
Sama sekali enggak. Bukan mau promo, tapi sepengalaman saya pakai Telkomsel, sinyal selalu full. Jaringan internet juga sangat bagus. Karena itulah saya jadi nggak menderita-menderita amat :D
2. Apakah di perbatasan bisa menangkap sinyal TV?
Nggak tau sih. Waktu itu nggak punya TV. 
3. Apakah di perbatasan ada JNE?
Hahaha, enggak deh kayaknya. Kantor pos aja aku nggak pernah lihat. Atau mungkin aku aja yang kurang jalan-jalan yak. Nggak tau deh kalau daerah lain.
4. Apakah di perbatasan ada yang jual es krim?
Kalo es krim ala cafe nggak ada sih. Kalo semacam Walls atau Campina masih ada yang jual kok.
5. Apakah di perbatasan ada yang jual nasi goreng?
Ada sih. Tapi aneh. Kalo di Jawa biasanya beli kan nasinya digoreng langsung di depan kita. Nah kalau di Pulau Weh enggak. Jadi nasi gorengnya udah digoreng banyak duluan, terus dimasukin termos nasi yang gede itu. Kalo ada yang beli tinggal nyentong.  
6. Makanan yang paling enak di sana apa?
Mie kocok Sabang. Wajib mampir. Mie rebusnya seger dan gurih. Sama sate gurita. Tapi aku nggak pernah makan sih. Geli aja ngebayangin ngunyah squid ward.
7. Emang hidup di perbatasan itu susah banget ya?
Nggak juga sih. Ikutin aja beat-nya. Hidup jangan dibikin susah. Kalo ketiban SKEP perbatasan harus banyakin syukur. Banyakin istigfar juga. Eh :D
8. Beneran nih nggak ada yang indah di perbatasan?
Banyaaaaaak. Di perbatasan biasanya alamnya masih belum terpolusi. Kalo di Pulau Weh pantai dan lautnya amboi nian. Ikan-ikan di laut masih bisa dilihat pakai mata telanjang. Kata orang, sebulan di sini hidup bagaikan surga. Sebulan berikutnya ya gitu deh.
9. Apakah orang-orang di perbatasan primitif?
Enggak sama sekali. Penampilan mereka udah oke kok, nggak ada yang telanjang-telanjang gimana gitu. Pulau Weh kan termasuk provinsi Aceh. Aceh kan julukannya Serambi Mekkah. Jadi udah tertutup semua. Tapi nggak tau sih kalo perbatasan Indonesia timur. Kalo lihat film dokumenter gitu kan masih banyak yang pakai koteka.
10. Pesan dan kesan?
Stronnnnggg sampai akhiiiiirrr :D

6 komentar:

  1. cerita soal hidup di pelosok, saya punya tetangga utara rumah yg hidup di papua...katanya di sana apa2 mahal, karena itu kalau pulang ke jogja liat harga2 dijogja sampai heran sampai berceletuk gini, "Wah murahnya, aku mau kok beli sekalian sama penjualnya ku beli..." :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe...pesan dan kesannya membuat saya geli...tapi, memang betul itu... :D

      Hapus
  2. jaga kesehatan penting tuh .. sarana kesehatan di perbatasan ya terbatas ya :D

    BalasHapus
  3. Saya juga selalu suka berpindah, lingkungan dan suasana baru. Wah, seru ya bisa sampai di perbatasan.

    BalasHapus
  4. Pasti pengalaman tak terlupakan ya mba Mimi tinggal di Pulau Weh :)

    Btw salam kenal ya mba :)

    BalasHapus