Sabtu, 28 November 2015

MENGENANG SETAHUN KECELAKAAN HELI DI KIWIROK (bag. 1)



Written by Mimi Affandi. Based on true story Lettu (Pnb) Surya Mega.
Judul asli adalah "14 x 2 =28", empatbelas lelaki yang mendapat kesempatan hidup kedua pada tanggal 28.



Jumat, 28 November 2014

SEMUA WELL DONE

Yes, all is well. Angin pegunungan Cyclops mengalir pelan seperti sungai di negeri peri, berembus sejuk menerpa anak-anak rambutku, mendinginkan beberapa butir keringat yang menetes pelan di sekitar dahi. Langit biru sempurna, awan menggumul seperti bulu-bulu domba yang siap dicukur pada setiap musim semi.

Ini bukan kali pertama saya dinas luar di kawasan Papua. Sebelumnya saya sudah pernah terbang hingga wilayah Merauke. Untuk BKO Kodam VII Cendrawasih kali ini, saya bertugas mengantar 10 anggota beruntung Batalyon Infanteri Yudha Sakti Padang untuk bertolak dari Sentani menuju Kiwirok, salah satu daerah di Pegunungan Bintang yang berbatasan dengan Papua Nugini. Mengapa beruntung? Bukankah bertugas di perbatasan itu nggak enak? Ya, tepat. Sebagian orang akan menilai ini adalah misi menakutkan, horor, seram, bla bla bla. Imajinasi Anda langsung menggambarkan suatu daerah terpencil di mana tak bisa ditemukan bioskop atau kafe full wi-fi. Segala piranti hedonis seolah lenyap tersapu seketika. Keadaan alam Kiwirok terdiri dari gunung dan pegunungan yang bergelombang memanjang dari arah barat ke timur, serta terdapat banyak jurang yang sangat terjal.


Kabupaten Pegunungan Bintang memiliki 34 distrik atau kecamatan yang semuanya tidak bisa diakses dengan kendaraan darat, hanya bisa menggunakan pesawat atau jalan kaki. Masyarakat di sana adalah pejalan yang hebat, mereka sanggup berjalan kaki berhari hingga berminggu-minggu untuk mencapai distrik lain demi mendapat barang yang mereka butuhkan. Jadi dilarang pingsan jika Anda mendapati air mineral gelas dihargai tujuh ribu rupiah dan sepotong tahu goreng lima ribu rupiah. Orang bilang ini adalah pedalaman Papua. Tempat ini adalah sarang malaria, di mana Anda bisa menemukan nyamuk sebesar lalat. Gigitannya menimbulkan penyakit yang tak bisa dihilangkan seumur hidup. Tak hanya itu, tentara OPM mengintai di balik semak. Siap menembak telak kepala prajurit-prajurit yang kebetulan mereka temui, apalagi jika mood membunuh mereka sedang dalam keadaan baik. Belum lagi gulana sebab meninggalkan keluarga atau pacar-pacar selama nyaris setahun. Tiap kali mendengar perbatasan Papua, maka yang belum pernah ke sana akan langsung membayangkan suatu tempat yang eksotik, sekaligus primitif, bahkan keramat. Traveler yang lebih ulung mungkin akan mulai membandingkan Papua dengan Bhutan, negeri kecil di kawasan Himalaya yang bahkan baru mengenal televisi pada tahun 1999.

Tapi kebahagiaan hidup bukanlah tentang di mana kita tinggal, tapi bagaimana cara kita menikmatinya. Manusia hanya perlu sedikit menggeser sudut pandang. Anggaplah mereka sedang beruntung mencumbui setapak indah bumi Indonesia. Kalau bukan mereka, barangkali hanya kru Jejak Petualang saja yang menginjakkan kaki di tanah tersebut. Orang-orang tertentu saja yang mampu duduk di kursi VVIP. Eksklusif, terbatas. Sama seperti mereka. Kiwirok adalah daerah di mana hanya sedikit orang saja yang bisa menikmatinya. Merekalah orang-orang terpilih tersebut. Harus ada pengorbanan pada setiap pencapaian. Menjalankan profesi secara profesional bagi saya akan membuat siapapun tampak lebih gentleman.

Saya akan duduk di kursi co-pilot, mendampingi Mayor Apu yang akan mengemudikan pesawat. Sayup-sayup terdengar Mayor Apu bergitar ria, mendendangkan lagu-lagu Batak yang saya tak tahu maknanya. Mendengar iramanya, saya masukkan lagu tersebut dalam kategori easy listening. Anggota Batalyon Infanteri juga terlihat bercengkerama akrab. Ibarat sebuah jalan, semua yang ada di mata kepala saya mulus tanpa lubang becek berbatu.

Heli yang akan saya gunakan masih dalam perjalanan terbang ke daerah Iwur untuk mengantar regu lain. Iwur adalah distrik lain di Pegunungan Bintang. Kesuburan tanahnya menghampar luas namun tak tersentuh sumber daya manusia ahli. Iwur berbatasan dengan kabupaten Boven Digoel. Siapa pula tak kenal Digoel? Sebuah penjara alam yang buas dan mematikan. Pada masa kolonial, Kapten L.Th. Becking cukup kejam membiarkan tawanan hancur tanpa harus dibunuh. Digoel mempunyai perangkat alamiah mumpuni untuk melenyapkan tawanan hingga mati melalui penyakit juga tekanan jiwa.

Seperti biasa, saya harus memonitor kondisi cuaca di atas langit melalui percakapan radio high frequency dengan pilot yang terbang saat itu, memastikan semua berjalan tanpa masalah. Sedikit saja masalah bisa berujung fatal. Angkasa sewaktu-waktu bisa berubah menjadi gadis cantik yang begitu merepotkan. But it's perfect day. Langit merestui, awan mendukung, angin tersenyum, pesawat sehat wal afiat. Saya senang.

Kami putuskan untuk berangkat setelah shalat Jum'at. Saya masih punya sekian ribu detik untuk menyantap sedapnya sepiring siomay. Sedikit kurang pedas. Mungkin sang koki sedang kehabisan cabai. Saya hanya berpikir bahwa semua akan berjalan lancar jika perut kenyang. Pada banyak kasus, rasa lapar bisa menghancurkan segalanya.

baca selanjutnya di:
BAGIAN 2 
BAGIAN 3 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar