Written by Mimi Affandi. Based on true story Lettu (Pnb) Surya Mega.
Judul asli adalah "14 x 2 =28", empatbelas lelaki yang mendapat kesempatan hidup kedua pada tanggal 28.
Jum'at, 28 November 2014
TUBUH KEKAR DI BALIK AWAN
Setelah semua siap, kami berempatbelas melaksanakan doa,
menjalin hubungan dengan Tuhan agar senantiasa dalam perlindungan. God is never too busy to listen, don't be
too busy to talk to him. Semenit doa mampu memberi efek psikologis luar
biasa. Doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak
percaya menjadi percaya, dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan.
Lebih daripada itu, doa memberikan saya rasa optimis, meyakini bahwa yang kami
lakukan adalah sebuah pengabdian sebagai putra-putra bangsa. Semoga malaikat
Roqib tidak lupa mencatat niat baik kami sekecil apapun dalam melindungi
pertiwi pada jurnal besarnya. Bismillah
for everything, sebab di setiap butir udara terdapat telinga Tuhan yang
siap mengabulkan permohonan.
Co-pilot duduk di sisi kiri. Saya mengikatkan sabuk pengaman lalu
memasang helm. Hal pertama yang saya lakukan tentu pengecekan. Semua instrumen
pesawat harus dalam kondisi fix. Set
radio juga penting agar kami bisa tetap berkomunikasi, utamanya menyangkut
cuaca. Saya menyalakan mesin. Deru menimbulkan debu. Baling-baling bersuara
bising, mirip bunyi juicer ketika menghancurkan potongan-potongan buah
jambu.
Setiap kali terbang saya selalu merasa keren. Ada
kebanggaan yang tidak bisa saya lukiskan. Dari sekian juta pemuda, hanya secuil
saja yang diberi kesempatan Tuhan duduk di kokpit pesawat. Di sisi lain saya
takut sombong. Bangga dan sombong bedanya hanya setipis kertas.
Heli take off.
Pelan-pelan daratan tampak lebih jauh sedikit demi sedikit, seperti kamera yang
dizoom-out, hingga akhirnya atap-atap
bangunan terlihat seperti ketombe di belantara rambut kepala. Inilah yang
membuat saya takut sombong. Menjadi penerbang betul-betul menyadarkan saya
betapa kecilnya manusia di hamparan semesta. Manusia berasal dari tanah, makan
dari hasil tanah, berdiri di atas tanah, dan kembali ke tanah. Tak patut
rasanya jika selalu bersifat langit.
Kami sudah berada di ketinggian 3.000 feet. Jarak yang sangat tinggi untuk
seekor capung bisa menyusul kami. Namun mata saya takjub melihat sekelebat
bayangan makhluk hidup. Saya langsung teringat film How To Train Your Dragon, di mana naga-naga terbang bebas menyaingi
burung, dan Hiccup bisa menyuruh Toothless terbang setinggi yang ia mau. Apakah
itu naga? Tentu saja bukan. Ini bukan negeri Shrek
atau Rapunzel. Di Papua tidak ada naga, tapi ada rajawali. Saya tak tahu pasti, mungkin Papuan Eagle alias Harpyopsis novaeguineae. Dia memang hidup di hutan yang tidak terganggu. Gaya
terbangnya seakan-akan ingin menyerang, seolah
helikopter kami adalah pesawat asing dari negara musuh.
Kami terbang lebih jauh. Gadis cantik mulai ngambek. Mata
saya melihat gumpalan awan yang jelek. Sejelek kapas yang baru saja dipakai
membersihkan tumpahan kopi. Orang bilang pelaut yang ulung tidak dilahirkan
dari samudera yang tenang, melainkan dari laut yang penuh ombak dan badai. Tapi
di sini saya belum mau mati. Lagipula saya bukan pelaut.
Meski radar cuaca menunjukkan warna hijau, tapi kami
memutuskan untuk tetap menghindar. Radar cuaca sangat membantu kami untuk
memutuskan pesawat akan lurus atau menyingkir. Warna merah menandakan pesawat
harus pergi jauh-jauh. Warna kuning menunjukkan cuaca mulai buruk. Warna hijau
berarti aman. Saya kira itu awan dari genus stratus. Heli
bisa saja lurus, namun secara visual
saya melihat pertanda tak baik, lagipula posisi pesawat masih agak jauh dengan
si awan jelek, saya khawatir radar belum menangkap kondisi yang sebenarnya.
Saya dan pilot sepakat untuk melipir ke arah yang lebih
cerah, yaitu via Batom.
Di wilayah udara Batom,
kami mencari hamparan yang minim gumpalan. Gumpalan awan memang terlihat
lezat seperti arum manis. Yang belum pernah naik pesawat terbang mungkin akan
membayangkannya selembut bulu kucing anggora yang nyaman untuk dibelai,
atau gundukan kapuk
yang enak dibuat tidur siang,
tapi sebenarnya awan-awan itu seperti perempuan
perkasa yang siap membantingmu ke lantai.
Kami mencari celah awan terang untuk bisa lewat.
Mata saya jeli mencari peluang. Akhirnya saya melihat celah awan tersebut. Heli
pun dengan senang hati menghampirinya, kami
berharap akan menemukan petak angkasa lebih
nyaman untuk melanjutkan perjalanan
dan sampai di tujuan tepat waktu.
Heli masuk celah. Semuanya nyaris baik-baik saja sebelum
mata saya melihat samar-samar warna hijau berkabut. Vava voom. Secara
mengejutkan tubuh gunung yang kekar menghadang tepat di depan mata. Pilot
segera menanjak hingga berhasil mencapai ketinggian 7.000 feet. Tapi
detik lebih cepat berlari. Puncak gunung terlalu tinggi untuk digapai. Tail
rotor mengenai pohon. Jantung saya berdegup bagai bass drum yang
ditabuh dengan tongkat bisbol, seolah mau meloncat dari rongga dada begitu
saja. Saya menutup mata seakan mau menabrak asteroid. Badan pesawat berputar
tak terkendali, lalu jatuh berdebum. Heli menghantam tubuh kekar itu, lalu
roboh lagi, mirip burung pipit jatuh dari pohon kelapa. Saya belum berpikir
soal kematian, padahal bisa saja kepala saya hancur saat itu juga. Saya hanya
berharap agar heli tak diserang ribuan ranting yang bisa menusuk dan
mencabik-cabik permukaan tubuh kami hingga koyak.
baca selanjutnya di BAGIAN 3
baca selanjutnya di BAGIAN 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar