Sabtu, 28 November 2015

MENGENANG SETAHUN KECELAKAAN HELI DI KIWIROK (bag. 2)



Written by Mimi Affandi. Based on true story Lettu (Pnb) Surya Mega.
Judul asli adalah "14 x 2 =28", empatbelas lelaki yang mendapat kesempatan hidup kedua pada tanggal 28.



baca sebelumnya di BAGIAN 1

Jum'at, 28 November 2014

TUBUH KEKAR DI BALIK AWAN 

Setelah semua siap, kami berempatbelas melaksanakan doa, menjalin hubungan dengan Tuhan agar senantiasa dalam perlindungan. God is never too busy to listen, don't be too busy to talk to him. Semenit doa mampu memberi efek psikologis luar biasa. Doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi percaya, dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan. Lebih daripada itu, doa memberikan saya rasa optimis, meyakini bahwa yang kami lakukan adalah sebuah pengabdian sebagai putra-putra bangsa. Semoga malaikat Roqib tidak lupa mencatat niat baik kami sekecil apapun dalam melindungi pertiwi pada jurnal besarnya. Bismillah for everything, sebab di setiap butir udara terdapat telinga Tuhan yang siap mengabulkan permohonan.

Co-pilot duduk di sisi kiri. Saya mengikatkan sabuk pengaman lalu memasang helm. Hal pertama yang saya lakukan tentu pengecekan. Semua instrumen pesawat harus dalam kondisi fix. Set radio juga penting agar kami bisa tetap berkomunikasi, utamanya menyangkut cuaca. Saya menyalakan mesin. Deru menimbulkan debu. Baling-baling bersuara bising, mirip bunyi juicer ketika menghancurkan potongan-potongan buah jambu.           

Setiap kali terbang saya selalu merasa keren. Ada kebanggaan yang tidak bisa saya lukiskan. Dari sekian juta pemuda, hanya secuil saja yang diberi kesempatan Tuhan duduk di kokpit pesawat. Di sisi lain saya takut sombong. Bangga dan sombong bedanya hanya setipis kertas.

Heli take off. Pelan-pelan daratan tampak lebih jauh sedikit demi sedikit, seperti kamera yang dizoom-out, hingga akhirnya atap-atap bangunan terlihat seperti ketombe di belantara rambut kepala. Inilah yang membuat saya takut sombong. Menjadi penerbang betul-betul menyadarkan saya betapa kecilnya manusia di hamparan semesta. Manusia berasal dari tanah, makan dari hasil tanah, berdiri di atas tanah, dan kembali ke tanah. Tak patut rasanya jika selalu bersifat langit.

Kami sudah berada di ketinggian 3.000 feet. Jarak yang sangat tinggi untuk seekor capung bisa menyusul kami. Namun mata saya takjub melihat sekelebat bayangan makhluk hidup. Saya langsung teringat film How To Train Your Dragon, di mana naga-naga terbang bebas menyaingi burung, dan Hiccup bisa menyuruh Toothless terbang setinggi yang ia mau. Apakah itu naga? Tentu saja bukan. Ini bukan negeri Shrek atau Rapunzel. Di Papua tidak ada naga, tapi ada rajawali. Saya tak tahu pasti, mungkin Papuan Eagle alias Harpyopsis novaeguineae. Dia memang hidup di hutan yang tidak terganggu. Gaya terbangnya seakan-akan ingin menyerang, seolah helikopter kami adalah pesawat asing dari negara musuh.

Kami terbang lebih jauh. Gadis cantik mulai ngambek. Mata saya melihat gumpalan awan yang jelek. Sejelek kapas yang baru saja dipakai membersihkan tumpahan kopi. Orang bilang pelaut yang ulung tidak dilahirkan dari samudera yang tenang, melainkan dari laut yang penuh ombak dan badai. Tapi di sini saya belum mau mati. Lagipula saya bukan pelaut.

Meski radar cuaca menunjukkan warna hijau, tapi kami memutuskan untuk tetap menghindar. Radar cuaca sangat membantu kami untuk memutuskan pesawat akan lurus atau menyingkir. Warna merah menandakan pesawat harus pergi jauh-jauh. Warna kuning menunjukkan cuaca mulai buruk. Warna hijau berarti aman. Saya kira itu awan dari genus stratus. Heli bisa saja lurus, namun secara visual saya melihat pertanda tak baik, lagipula posisi pesawat masih agak jauh dengan si awan jelek, saya khawatir radar belum menangkap kondisi yang sebenarnya. Saya dan pilot sepakat untuk melipir ke arah yang lebih cerah, yaitu via Batom.

Di wilayah udara Batom, kami mencari hamparan yang minim gumpalan. Gumpalan awan memang terlihat lezat seperti arum manis. Yang belum pernah naik pesawat terbang mungkin akan membayangkannya selembut bulu kucing anggora yang nyaman untuk dibelai, atau gundukan kapuk yang enak dibuat tidur siang, tapi sebenarnya awan-awan itu seperti perempuan perkasa yang siap membantingmu ke lantai.

Kami mencari celah awan terang untuk bisa lewat. Mata saya jeli mencari peluang. Akhirnya saya melihat celah awan tersebut. Heli pun dengan senang hati menghampirinya, kami berharap akan menemukan petak angkasa lebih nyaman untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di tujuan tepat waktu.

Heli masuk celah. Semuanya nyaris baik-baik saja sebelum mata saya melihat samar-samar warna hijau berkabut. Vava voom. Secara mengejutkan tubuh gunung yang kekar menghadang tepat di depan mata. Pilot segera menanjak hingga berhasil mencapai ketinggian 7.000 feet. Tapi detik lebih cepat berlari. Puncak gunung terlalu tinggi untuk digapai. Tail rotor mengenai pohon. Jantung saya berdegup bagai bass drum yang ditabuh dengan tongkat bisbol, seolah mau meloncat dari rongga dada begitu saja. Saya menutup mata seakan mau menabrak asteroid. Badan pesawat berputar tak terkendali, lalu jatuh berdebum. Heli menghantam tubuh kekar itu, lalu roboh lagi, mirip burung pipit jatuh dari pohon kelapa. Saya belum berpikir soal kematian, padahal bisa saja kepala saya hancur saat itu juga. Saya hanya berharap agar heli tak diserang ribuan ranting yang bisa menusuk dan mencabik-cabik permukaan tubuh kami hingga koyak.

baca selanjutnya di BAGIAN 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar