Written by Mimi Affandi. Based on true story Lettu (Pnb) Surya Mega.
Judul asli adalah "14 x 2 =28", empatbelas lelaki yang mendapat kesempatan hidup kedua pada tanggal 28.
baca sebelumnya di:
Jum'at, 28 November 2014
INI BUKAN LATIHAN, SAYANG
My Puma has down.
Posisinya sangat menyedihkan. Nyungsep miring di lereng gunung bagai rusa yang
terkapar habis ditembak senapan. Baling-baling hancur, hanya tinggal seperempat
bagian. Badan pesawat penyok dan ringsek. Rasanya seperti melayang. Saya
gerak-gerakkan tangan dan kaki kalau-kalau ada yang patah, atau lebih seram
lagi, putus. Antara senang, takjub, dan terkejut, bahkan saya tak tergores
sedikitpun. Ajaib! Tidak ada darah, tidak ada lebam, tidak amnesia, semua
anggota tubuh saya utuh. Saya sehat total. Saya segera mematikan mesin dengan
menarik crash handle. Suara baling-baling yang mengerang ribut mulai
redup hingga akhirnya diam. Mematikan mesin adalah prosedur pertama dan utama
ketika pesawat jatuh. Jika tidak begitu, dikhawatirkan ada bahan bakar yang
bocor lalu merembes ke jaringan listrik yang konslet. Heli bisa meledak dan
terbakar. Ditambah banyak amunisi dan granat yang dibawa. Kami bisa berubah
jadi kambing panggang dalam hitungan detik.
Saya melihat pilot dan juru mesin yaitu Peltu Hadi,
terkulai tak sadarkan diri. Terlihat bibir pilot berdarah. Ada selintas rasa takut.
Di belakang, saya mendengar suara gerakan-gerakan. Saya yakin itu penumpang
yang juga sedang riuh menyelamatkan diri. Saya berteriak minta tolong agar
mereka segera membantu pilot dan Peltu Hadi. Saya sendiri segera memanjat untuk
membuka pintu. Helm masih menempel erat di kepala. Saya berhasil lolos dari
badan pesawat, sementara pilot dan Peltu Hadi ditarik keluar oleh Prada Andra
dan Prada Satya. Satu per satu penumpang pun menampakkan tubuhnya. Lengkap.
Jumlahnya tetap empatbelas. Tidak ada yang mati. Tidak ada yang hilang. Ya,
semua hidup. Semua masih bernafas. Saya lega luar biasa.
Saya terdiam di bawah pohon. Bengong sembari menyuplai
banyak-banyak oksigen setelah kecelakaan tersebut menguras hampir seluruh stok
udara di bilik jantung. Entah karena sudah tidak bisa berpikir atau malah
terlalu banyak memikirkan sesuatu, saya hanya bisa memandangi keadaan di
sekitar saya yang buruk rupa dan berantakan. Pohon-pohon tumbang mengenaskan, mungkin
tersabet baling-baling. Ini kejadian besar di sepanjang riwayat hidup saya.
Ribuan tanda tanya berlarian riang di dalam kepala. Heli saya jatuh. Mengapa?
Bagaimana? Kok bisa? Masak sih? Saya risau memikirkan jawaban-jawaban yang
harus saya ungkapkan ketika nanti disergap pertanyaan-pertanyaan.
Saya menatap langit. Mencoba mencari keberadaan Tuhan.
Tidak ada sehelai pun daun jatuh tanpa seizin Tuhan. Kalau begitu, heli saya
yang jatuh apa juga karena izin Tuhan? Mengapa Tuhan memberikan izin yang bisa
menyusahkan saya dan kawan-kawan? Siapa yang harus saya salahkan? Heli? Awan?
Gunung? Saya sendiri? Atau Tuhan?
Orang bijak bilang pasti ada hikmah di setiap kejadian.
Orang bijak lainnya mengatakan bahwa Tuhan selalu punya rencana indah di balik
musibah. Orang bijak yang lainnya lagi bilang, apa yang kamu dapat adalah
sesuai amal perbuatan. Saya lebih mikir sama yang terakhir. Apakah saya kurang
sedekah? Apakah doa saya kurang khusyuk? Atau jangan-jangan saya ini memang
arogan, kurang membumi, sehingga Tuhan benar-benar menjatuhkan saya ke bumi
biar saya kapok? Saya perlu jawaban. Tapi yang muncul hanya suara embusan angin
dan serangga-serangga hutan.
Kondisi tidak bisa membiarkan saya menggalau
berlama-lama. Kami harus membereskan kekacauan ini
dengan segera. Saya pun bangkit
mengambil alih keadaan. Saya melakukan absensi. Dengan
suara lantang saya minta satu per satu menyebutkan kondisi masing-masing. Di
sini saya jadi sadar bahwa suka dan duka itu ternyata memang relatif,
tergantung keadaan, tergantung melihatnya dari sebelah mana. Saya senang mereka
semua masih bernyawa, tapi saya sedih karena beberapa dari mereka terluka,
meskipun saya tetap senang juga keadaan mereka baik. Campur aduk. Pikiran saya
seperti benang ruwet yang baru saja dipakai bermain kucing. Praka Ulil,
kepalanya bocor dan kaki kirinya patah. Lettu Rigvo dan Pratu Dino mengalami
pergeseran tulang lengan. Praka Joko kaki keseleo. Peltu Hadi dadanya sakit
kena benturan keras. Sisanya lecet ringan. Pilot saya, Mayor Apu, mengalami shock hebat, dia terus menanyakan hal
yang sama berulang-ulang sepanjang hari: ‘kita di mana, Meg? Pesawat kita jatuh ya, Meg? Kok bisa,
Meg?’
Hati saya terluka mendengar pertanyaan itu. Pikiran jadi
bertambah rumit sebab harus menjawab pertanyaan yang tidak ingin saya jawab.
Lalu saya ingat sekelumit pelajaran tentang bagaimana menghadapi orang yang
pikirannya sedang terguncang, yaitu dengan menampar keras salah satu bagian
tubuhnya. Saya tidak tega, bagaimanapun sang pilot adalah senior. Tapi mau
tidak mau saya harus melakukannya. Saya menjewer telinganya. Pilot pingsan seketika.
Saya melongo. Semoga Tuhan mengampuni saya. Tapi untungnya pilot hanya pingsan
sekian menit.
Kami pun bergegas bergeser agak ke bawah untuk menjauhi
bangkai heli. Yang kuat membantu yang sedang lemah. Kecemasan akan terjadinya
ledakan masih menghantui. Tidak lucu jika kami yang sudah selamat ini mendadak
harus lebih cepat menghadap Sang Khalik karena kecerobohan kecil, meski saya
tahu bahwa manusia tidak akan bisa menghindar dari kematian walau bersembunyi
di dalam benteng yang kokoh sekalipun.
Saya segera berkonsolidasi dengan Prada Andra. Saya
memilih dia karena merupakan salah satu korban yang paling sehat tak kurang
suatu apapun. Kami mendiskusikan langkah apa yang sebaiknya kami tempuh
selanjutnya. Akhirnya didapat keputusan. Prada Andra dan Prada Satya kembali ke
pesawat, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, utamanya mengevakuasi
senjata dan amunisi, juga ransel yang berisi ponco, matras, dan baju-baju.
Prada Ade mengurus yang luka sebab dia memang orang kesehatan. Saya sendiri
mencari telepon satelit, GPS, peta, kapak, dan makanan-makanan. Kami kembali
mendekati heli hanya bermodal kun fayakun. Jika meledak, meledaklah.
Jika kami harus jadi kambing panggang, jadikanlah kami kambing panggang yang
enak.
Satu per satu seluruh senjata, amunisi, dan perbekalan
terangkut keluar. Kami meletakkannya di sisi aman. Rupanya
Tuhan masih menganggap kami anak sholeh, sehingga memberikan kami kesempatan
hidup kedua agar menjadi
anak yang lebih sholeh lagi. Heli tidak meledak. Saya segera menjalin kontak melalui telepon satelit sebab ponsel GSM saya sudah sama sekali hilang sinyal. Orang pertama
yang saya ingat tentu kru di Sentani. Saya pencet nomornya. Gagal. Saya pencet
lagi. Gagal lagi. Bingung dan dongkol. Di saat genting, sesuatu kadang tak pernah berjalan mulus, namun jika
tidak sedang diperlukan benda-benda tersebut suka mondar-mandir di depan mata tanpa sedikitpun masalah.
Telepon satelit merupakan perbekalan utama setiap pesawat yang akan terbang. Ia
memiliki jangkauan yang lebih luas dibanding telepon yang berbasis GSM sebab base
tranceiver station-nya berada di udara, bukan di darat yang secara awam
biasa kita sebut tower. Jenis telepon ini umumnya digunakan di daerah
pegunungan, pedalaman, hingga tengah lautan, pokoknya tempat-tempat yang
minimal bahkan nihil sinyal GSM. Yang terpenting telepon satelit harus berada
di tempat yang bisa terkoneksi dengan langit secara langsung tanpa penghalang,
sebab jaringan satelit tidak dapat menembus ruangan. Telepon
yang saya gunakan adalah IsatPhone Pro. Merupakan telepon satelit yang
menggunakan jaringan operator Inmarsat. Inmarsat adalah operator tertua, sudah
eksis sejak tahun 1979. Jangkauan Inmarsat nyaris memancar ke seluruh bumi,
kecuali daerah kutub.
Lettu Rigvo mengambil telepon satelit dari tangan saya. Gantian
dia yang mengutak-atik. Herannya, sekali pencet langsung nyambung. Ternyata
ketidakberhasilan saya disebabkan karena saya tidak menambahkan kode +62.
Sepele, dan sedikit memalukan. Lettu Rigvo menghubungi keluarganya yang berada
di Jayapura, meminta ayah ibunya agar segera bergegas ke pangkalan udara untuk
menginformasikan peristiwa ini.
Setelah itu, saya pun juga mengontak kru yang berada di base
Sentani, yaitu Pak Sofan. Pak Sofan adalah senior sekaligus co-pilot juga.
Pak Sofan segera meminta posisi saya sesuai GPS 296 yang saya pegang. GPS juga
merupakan alat penting, berfungsi menunjukkan koordinat sehingga kemungkinan
nyasar bisa diminimalkan. Penemuan GPS terinspirasi dari Uni Soviet pada tahun
1957 ketika negara tersebut meluncurkan satelit pertama mereka, yaitu Sputnik.
Ketika itu, Dr. Richard B. Kershner memonitor transmisi radio Sputnik. Mereka
menemukan bahwa Efek Doppler berpengaruh pada transmisi radio. Efek Doppler
adalah fenomena perubahan frekuensi karena pengaruh gerak relatif sumber bunyi
dan pendengar. Sinyal frekuensi yang ditransmisi Sputnik sangat tinggi saat
baru diluncurkan dan semakin rendah seiring satelit menjauhi bumi. Mereka
berpikir alangkah enaknya jika bisa mengetahui letak bujur dengan tepat di peta
dunia sehingga mampu melacak posisi satelit tersebut dengan akurat.
Tapi rupanya hari
sudah terlalu sore, tentu saja kami harus menunggu esok untuk diselamatkan. Baiklah, anggap saja hari ini kami akan melakukan
Persami, bermalam di puncak gunung.
Hari pun semakin petang,
matahari perlahan hilang. Pukul enam
sore sudah seperti pukul delapan malam. Berbeda sekali dengan wilayah Indonesia
ujung barat di mana pukul enam sore matahari masih bersinar terlalu terang
hingga azan maghrib baru bisa dikumandangkan sekitar pukul tujuh
malam. Kami semua berkumpul saling mendekat. Dalam kesadaran
jiwanya yang belum seratus persen pulih, pilot memimpin kami semua untuk
membaca Yaasin dengan penerangan seadanya. Kami tidak mendirikan tenda maupun
bivak sebab kondisi tanah tidak memungkinkan. Terlalu banyak semak, pohon, dan
lumut. Ilmu survival ketika saya masih sekolah di AAU rupanya sangat membantu,
padahal dulu tak sekalipun saya berpikir akan mengalami hal seperti ini dalam
konteks yang sebenar-benarnya, alias bukan dalam latihan.
Udara semakin dingin seperti freezer alami. Kami
bergelimpangan begitu saja di atas tanah dengan alas dan selimut seadanya. Saya
harus meralat bahwa ini sama sekali tidak mirip Persami. Tidak ada api unggun
dan acara bernyanyi sambil bertepuk tangan riang. Tidak ada ubi untuk dibakar
atau gitar untuk dimainkan. Sepi dan gelap, bahkan suara nyamuk pun tidak ada.
Kami saling mendekat untuk saling menguatkan. Pilot berkali-kali meminta maaf,
merasa bersalah atas kejadian yang kami alami hari ini. Tapi sangat egois
rasanya jika kami harus berkata, "Iya nih, ini semua gara-gara elo!". Tidak!
Pilot saya orang baik dan bertanggungjawab. Kami pun membesarkan hati pilot
bahwa ini semua murni musibah. Tidak ada seorangpun menginginkan hal ini
terjadi. Manusia selalu ingin selamat dunia akhirat.
Kami pun mulai saling melakukan sesi curhat. Ramai
menceritakan kecelakaan ini menurut sudut pandang masing-masing. Anggota Yonif
Yudha Sakti yang semuanya duduk di
belakang bercerita bagaimana kacaunya mereka ketika heli mulai tak terkendali,
terbolak-balik dan terbanting-banting seperti cacahan tomat yang diaduk dalam
gelas besi.
Malam ini kami berada dalam naungan suasana akrab dan romantis. Kami seolah
sedang ber-pillow talk meskipun
kenyatannya tak ada satupun bantal empuk untuk menyandarkan kepala yang terasa
kian berat. Ini adalah pengalaman mereka
terbang dengan helikopter untuk pertama kali. Sedih, sebab saya tak berhasil memberikan joyfull
flight, malah mendamparkan mereka di pedalaman hutan terpencil yang
menggigil. Saya mulai memahami sergapan rasa bersalah pilot. Bagaimana ya
mengungkapkannya? Rasa bersalah di sini bukan berarti kami memang salah
dan menjadi sumber penyebab kecelakaan ini, tapi
lebih
kepada perasaan tidak enak hati karena tidak berhasil membawa mereka
selamat sampai tujuan, serta tentu saja turut membuat keluarga mereka khawatir dan
menangis.
Malam kian larut. Pilot
kembali menceracau. “Kita di mana, Meg? Pesawat kita jatuh ya, Meg? Kok bisa,
Meg? Anggota sudah lengkap semua, Meg? Selamat semua, Meg?”
Saya menghela nafas panjang. Ada kalanya saya lelah. Ada kalanya kesabaran
saya mulai pudar. Saya segera menyuruh Prada Andra untuk duduk di samping
pilot, mendampinginya hingga
pagi, dan memintanya untuk selalu menjawab pertanyaan pilot dengan lembut dan
sabar sepanjang waktu. Saya sendiri tidur, tapi tetap waspada. Untungnya di
pelajaran IPS tidak pernah disebutkan adanya harimau Papua, hanya ada harimau
Sumatera, jadi saya bisa lebih tenang mengistirahatkan pikiran saya yang mulai
miring, semiring lereng yang kini menjadi kasur tempat saya tidur. Saya mulai
merindukan springbed.
Note
Bagian survival dan penyelamatan adalah bagian yang tidak pernah terselesaikan karena suatu hal. Intinya mereka harus bertahan di hutan selama lebih kurang tiga hari dalam kondisi memprihatinkan. Baju-baju mereka harus dibakar untuk menghangatkan badan. Kayu dan ranting tak bisa disulut karena basah. Mereka bertahan di belantara dalam kondisi hujan, tanpa peneduh, terluka, dan tanpa makanan.
Sungguh miris banget mbak.. liat cara mereka bertahan hidup mba.
BalasHapus