Jumat, 20 November 2015

HOW TO MAKE A FRIEND WITH...

DI LUAR

Lihat-lihat dulu karakter orangnya. Ada yang slow, ada yang super serius. Ketika sudah menjadi istri, kita akan bergaul dengan semua pendamping tentara dari segala usia, beda dengan di komunitas jejaring sosial, misalnya Perpara yang mostly umurnya sepantaran, sehingga rasa hormat-menghormati sering terabaikan karena terlanjur merasa enjoy menganggap mereka teman karib. Itulah mengapa sering terjadi crash antar para calon dan istri yang sah di komentar-komentar media sosial karena gaya bicara yang disamaratakan. Terjadilah aksi saling ejek, saling memaki, hingga jadi terkesan bullying nggak penting.

Jika sudah berkecimpung secara real, maka tidak bisa seperti itu. Ibu senior tetap harus dihormati meskipun suami mereka tamtama, begitupun ibu muda junior tapi suaminya berpangkat perwira. Keduanya tidak boleh disapa secara sembarangan.

Waduh kok jadi bawa-bawa pangkat?

Lha emang mau gimana lagi? Tentara akan selalu identik dengan kepangkatan. Tentara yang tidak memiliki jabatan sih banyak, tapi tentara yang tidak memiliki pangkat itu tidak ada. Kita mungkin berharap pangkat-pangkat tersebut tidak perlu menghantui kehidupan istri. Saya sih maunya juga gitu Dear, eh tapi ternyata nggak bisa. Jika kita tinggal di luar, mungkin masih bisa leluasa, tapi jika sudah tinggal di komplek rumah dinas atau asrama, maka hal-hal seperti itu harus jadi urat nadi. Di sini nama asli kita akan hilang, semua orang akan memanggil nama suami, menyebut kita misal Nyonya Bejo atau Ibu Bejo. Sedangkan suami-suami kita akan selalu disebut berbarengan dengan pangkatnya, misal: "eh, itu Pratu Bejo yang mau nikah itu loh" atau "Sertu Bejo yang rumahnya di pojokan itu loh" atau "Kapten Bejo yang asalnya dari Malang itu loh".

Itulah mengapa satu kesalahan kecil yang kena efek paling besar adalah reputasi atau nama baik pasangan. Biar lebih aman, hendaknya selalu punya unggah-ungguh. Saya pribadi lebih sering pakai bahasa krama alus karena kebetulan rekan dan tetangga saya mayoritas berasal dari wilayah Solo dan Yogyakarta. Maka dari itu, pada postingan lain saya pernah menulis memilih untuk tidak populer.

Nah, kalo sudah ketahuan orangnya asyik, ya kita ikut asyik aja. Mau ngobrol, mau curhat, mau ngeledek terserah deh. Tapi tetep sih, biasanya hal-hal asyik kayak gitu hanya bisa kita lakukan pada teman seletting atau yang pangkat suaminya tak jauh-jauh dari pangkat pasangan kita. Kalo sama Ibu-Ibu tetua saya pribadi belum pernah berani melakukannya, yah meskipun orangnya asyik juga sih. Takut keseleo lidah.

Waduh kok kayaknya bergaul jadi menakutkan gitu?

Tergantung orangnya sendiri kok. Saya takut karena nggak mau bikin nama saya atau nama suami saya jadi buah bibir karena hal-hal yang sebetulnya tidak sengaja. Bisa-bisa bikin karier suami saya seret, hehehe. Coba deh kamu ledek-ledekan sama Ibu yang suaminya berpangkat kolonel, berani nggak? Pasti sungkan dan malu-malu kucing, sementara nanti kita akan bergaul dengan Ibu-Ibu istri tentara yang seusianya hampir sama kayak mama atau mertua kita.

DI KANTOR

Yep, kita bisa ada di sini karena pasangan (suami) kita. Di dalam kantor, hierarki pasti akan berjalan lebih semestinya. Di organisasi, mereka pasti akan selalu saling support dan dukung, tapi agak sulit menjadikan semua sejajar. Tempat duduknya aja sudah beda, hehe. Ibu-Ibu perwira duduknya akan selalu di depan. Selain karena pangkat suaminya yang lebih tinggi, juga sebagian besar dari mereka adalah pengurus.

Kita memang tidak berniat menunjukkan di pangkat mana kita berada. Rasanya memang terlalu alay dan riya'. Tapi kenyataan harus tetap dihadapi. Perbedaan pangkat kalo dibahas memang sangat sensitif, rawan menyebabkan ketersinggungan, terkesan ngganjel, dan apalah-apalah. Sebagai pendamping tentara, ya kita memang sama dan sejajar, senasib sepenanggungan. Tapi kalo sudah di forum resmi, tentu kita tidak bisa menyejajarkan diri dengan Ibu Ketua yang pangkat suaminya sudah berbintang-bintang.

Jadi kalo mbahas soal gap tamtama-bintara-perwira, kita tidak bisa mengelak. Prada tidak akan berani menyuruh Serda, Serda tidak akan berani menyuruh Letda, begitupun seterusnya. Jadi kembali ke kalimat pertama: kita bisa ada di sini karena pasangan (suami) kita. Akan lebih aman jika mampu membawa diri sesuai posisi pasangan. Suami kita pasti akan ngasih arahan kok gimana kita harus bersikap.

Contoh: ini berdasar pengalaman yang saya lihat. Yang saya sebut hanya oknum, tidak pukul rata bahwa istri dengan suami berpangkat tersebut pasti berbuat demikian. Seorang istri Pratu dan istri Pelda. Mereka akrab karena sama-sama menganggap pangkat suami adalah pangkat suami, istri nggak ada hubungannya. Karena saking akrabnya, mungkin istri Pratu merasa sudah tidak perlu lagi terlalu bertatakrama dengan istri Pelda. Pada suatu hari, istri Pratu tak sengaja (saya yakin itu cuma keseleo lidah) menyuruh istri Pelda untuk membawakan makanan ke rumahnya besok dengan gaya bahasa layaknya teman akrab. Saya pikir semua baik-baik saja sampai istri Pelda berkata lantang "wah, berani-beraninya anak kecil nyuruh orang tua!!!" dengan ekspresi serius. Seketika suasana senyap dan kikuk. Saya langsung ambil hikmah bahwa seakrab-akrabnya kita berteman dengan pendamping senior atau yang pangkatnya lebih tinggi, yang muda harus tetap selalu tahu diri.

Contoh lagi: saya pernah punya Ibu Ketua asyik banget, di luar kami bisa ngobrol akrab, nggak jaim, menyebut saya adik, pake bahasa elo-gue, ngajak makan, ngajak shopping, dan lain-lain. Yup, kita bisa membaur dan bergaul layaknya sahabat karib. It's good. Namun saya tak boleh GR. Tak lantas selamanya saya menganggap beliau kece dan gaul, atau berharap punya hubungan dekat kayak gitu terus. Ada saatnya beliau harus tampil berwibawa, membangun tembok besar atasan-bawahan, memberikan saya perintah ini-itu, hingga dari hal tersebut saya pun harus sejenak melupakan keakraban itu dan berperilaku lebih takzim kepadanya.

Pada saatnya, kita akan lebih banyak mendengar dan menyimak tentang etika ini dan etika itu. Saya dulu sempat menganggapnya ribet dan nggak penting. Saya berpikir: "Duh geje banget sih pakek gituan segala, temenan ya tinggal temenan aja kalik, nggak usah pake repot. Dikit-dikit bahas etika". Ya tapi itulah yang senantiasa harus kita terapkan baik-baik. Saya tidak bisa mengelak sebab lingkungan kerja suami saya telah menerapkan hierarki tersebut selama puluhan tahun bahkan sebelum saya lahir. Lama-lama pun saya memahami mengapa saya harus begini, atau mengapa saya harus begitu, semua demi kebaikan saya sendiri meskipun pada beberapa hal berlawanan dengan idealisme pribadi.


KESIMPULAN

  1. Lihat dulu karakter orang yang akan kita sapa dan jadikan teman.
  2. Lebih aman jika memanggil semua istri tentara dengan panggilan 'Bu' meskipun di luar kita diijinkan untuk memanggil 'Mbak' atau 'Tante'. 
  3. Suka atau tidak suka, hierarki akan tetap berjalan di luar maupun di dalam kantor. Hendaknya selalu bisa menempatkan diri. Banyak orang bilang menjadi istri tentara adalah pilihan dengan sejuta konsekuensi. Konsekuensi tersebut tidak hanya seputar LDR, ditinggal tugas, susah sinyal, maupun kematian, tapi juga kepatuhan untuk menaati hierarki. Jika ada yang bilang tidak memandang apa yang disandang pasangannya, menurut saya itu wagu. Pangkat suami akan mengikuti istri. Jadi istri juga tidak bisa mengacuhkan hal tersebut,
  4. Tidak perlu berkecil hati dan jengkel jika pendamping dari golongan tertentu terkesan tidak mau membaur. Masing-masing posisi pasti mempunyai tanggungjawab berbeda. Daripada mencak-mencak dan menganggap mereka arogan, mending stay positive aja. Mungkin mereka lebih nyaman bergaul dengan segolongan karena memang lebih nyambung diajak diskusi tentang suatu hal.
  5. Intinya jangan dipikir terlalu berat. Pangkat tidak dibawa mati kok. Meski begitu, pangkat adalah amanah yang harus tetap dijalankan sesuai peraturannya. Perlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Hormati orang lain seperti kita ingin dihormati,



Catatan
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggurui. Saya juga masih muda dan awam, serta belum mampu bijaksana. Tulisan ini murni hanya berbagi pengalaman yang masih dangkal. Pengalaman setiap istri tentara tentang tatacara bergaul antar sesama rekan tentu berbeda. Cerita yang saya tulis ini merupakan pengalaman pribadi, bimbingan dari Ibu-Ibu senior di lingkungan pertemanan saya, serta arahan dari suami. Jika ada pengalaman yang berbeda atau tak selaras, saya terbuka untuk dijadikan koreksi.

10 komentar:

  1. Di lingkungan tentara atau polisi atau instansi manapun memang ada aturan baku. Hal ini juga berlaku pada isteri-isteri walaupun tidak terlalu kaku.
    Pangkat dan jabatan membawa resiko kewajiban dan hak. Itu memang sudah di atur.
    Seorang bintara yang sudah lama mengabdi dan banyak pengalaman tetap harus mengormat kepada perwira muda yang baru lulus dari pendidikan. Demikian pula seorang tamtama, hatus menghormat kepada bintara.
    Itu memang sudah aturan baku.
    Para isteri memang harus menyesuaikan diri dengan keadaan ini.

    Saya sendiri juga tahu diri.
    Walaupun dia teman satu angkatan yang dulunya akrab sebagai sahabat tetapi manakala jabatan dan pangkatnya lebih tinggi maka saya tidak akan memanggil dia hanya namanya saja.
    Teman saya memang bilang:"Nggak usah panggil Pak, nama saja tho Lil." Tetapi saya tetap memanggilnya dengan embel-embel Pak.
    Sekarang walaupun sudah sama-sama pensiun saya juga tetap memanggilnya Pak atau minimal Mas jika dia pernah menjadi atasan atau guru saya.

    Teman isteri saya menikah dengan tentara yang angkatannya lebih senior maka isteri saya memanggilnya Mbak. Kalau di forum resmi ya memanggil Ibu. Nah....kalau di tempat non resmi biasanya memanggil Mbak.

    Kapan dan di mana serta kepada siapa sebaiknya kita tetap bergaul dengan baik, saling mengerti, saling menghormati dengan agar dunia ini damai.

    Salam hangat dari Jombang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Pakdhe. Pangkat dan jabatan membawa resiko kewajiban dan hak, memang betul sekali. Makanya saya yang masih unyu ini harus super hati-hati dan selalu tahu diri. Rawan salah. Hehehe :D

      Salim sungkem dari Malang :D

      Hapus
  2. intinya kita harus pandai membawa diri dan jangan egois yah mbak :)

    BalasHapus
  3. wuih... bacanya kok serem ya mimito... maksudnya jadi gak bisa 'lepas' gitu bergaulnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe iya Mbak. Aparat suka jadi sorotan soalnya. Kalo nggak hati-hati, bisa-bisa esok paginya nama saya muncul di headline Tribunnews. Wakakakakkk :D

      Hapus
  4. Membaca tulisan mbk mimi, membauat saya mengerti bagaimana menempatkan diri :) terimakasih telah beebagi pengalamn :)

    BalasHapus
  5. Adaptasi di lingkungan yg terkesan formal gt yah. Wlo ga ngerti urutan pangkat, ngerti siiih mksdnya gmn... semoga suami mbak slalu mulus karirnya...

    BalasHapus