Kamis, 17 Desember 2015

IBU YANG TIDAK BISA MENULIS

Hari ini, dalam acara pengambilan rapor semester gasal, saya dibuat tercengang oleh sesosok orangtua murid. Kebetulan saya menjadi wali kelas, sehingga rapor siswa diambil melalui saya. Ibu itu berpakaian sederhana, fisiknya masih sehat bugar khas Ibu-Ibu berusia mendekati limapuluhan. Ketika saya memintanya untuk mengisi daftar hadir terlebih dahulu, beliau diam saja sambil tersenyum. Ketika saya meminta lagi, dengan wajah sedih campur malu, beliau mengaku bahwa ia tidak bisa menulis. Saya terdiam. Lekas saya pun memintanya untuk membubuhkan tandatangan saja, biar nanti namanya saya yang tulis, namun beliau pun juga kembali menerangkan dengan wajah muram bahwa ia tak bisa bertandatangan.



Saya trenyuh. Pemandangan kecil yang saya temui tadi pagi, membuat saya jadi teringat orangtua. Ayah saya juga tidak berpendidikan tinggi. Namun kerja kerasnya mampu menguliahkan saya hingga menjadi guru, dan mengantarkan adik saya masuk di kedokteran hewan UGM. Ayah saya tidak terpandang karena gelar pendidikan, namun karena kesederhanaan hidup yang membuatnya bertekad agar keturunannya bisa menjadi orang yang lebih baik darinya.

Ibu tersebut seolah ingin memberitahu hal serupa. Menjadi sosok yang buta huruf di era modern seperti sekarang saya pikir bukanlah perkara gampang. Saya bayangkan bagaimana ia harus berjuang tanpa mengenal tulisan nyaris sepanjang hidupnya. Penampilannya yang sederhana, saya yakin beliau bukan orang berada. Tanggungan biaya di daftar tagihan pun masih tujuh digit. Saya sudah hendak memintainya uang untuk melunasi setidaknya setengah dari minus biaya sekolah tersebut sebelum akhirnya kata-kata tidak bisa menulis itu keluar dari mulutnya. Hati saya tidak sampai. Keluarganya memang kekuarangan uang, tapi saya pikir mereka tidak pernah kekurangan semangat. Saya yakin tak mudah pula mengokohkan tekad untuk menyekolahkan anak di SMK swasta yang bisa dibilang tak murah. Saya langsung membubuhkan tandatangan pada lembar rapor dan daftar hadir, bertindak sebagai wali yang mengambilkan rapor anaknya, kemudian langsung menyerahkan rapor tersebut tanpa bertindak seperti debt collector.

Ibu yang tidak bisa menulis tersebut mengajari saya bahwa cinta orangtua akan selalu ada untuk anak-anaknya. Betapapun sulitnya hidup, keberhasilan pasti akan menyertai orang yang selalu punya tekad. Meski anaknya hanya mampu berada di rangking 10, tidak masalah. Jika saya tahu, pasti saya akan lebih mendorong anaknya untuk lebih meningkatkan kemampuan akademik. Tak apa, masih ada semester-semester depan yang saya yakin akan bisa jauh lebih baik.

4 komentar:

  1. nyimak dulu hehe , soalnya belum menjadi orang tua tapi setidaknya dulu pernah lihat begian waktu sekolah wkwkw

    BalasHapus
  2. masya Alloh. nggak terbayang di zaman sekarang masih ada ya mbak. saya dulu ngalamin sekitar 25 tahun yang lalu waktu masih SMP saja sudah merasa melas gitu. bapaknya teman saya, sudah sepuh, baca tulis tak bisa. tanda tangan juga ala kadarnya entah itu tanda tangannya betulan atau ganti lagi.

    semoga anaknya tahu posisinya ya mbak dan jadi anak berprestasi, berbakti kepada orang tuanya. aaamiiin.

    BalasHapus
  3. Itulah orang tua,cintanya pada anak tak terkira. Sampai tidak peduli akan kelemahannya sendiri. ceritanya Menyentuh mba Mimi

    BalasHapus
  4. Mba mimi.. Salam kenal, hehe follow jg..

    BalasHapus