![]() |
Cerpen ADANDI ADINDA meraih juara 3 Lomba Menulis Cerpen tema Luka Hati yang diselenggarakan Penerbit Pustaka Jingga |
ADANDI ADINDA
oleh: ENDAH WAHYUNI
Usiamu sudah memasuki bulan
kesembilan di dalam janin. Ibumu tak henti-hentinya mencurahkan kegelisahannya
pada ibuku. Kau semakin kuat menendang, sementara aku lebih suka diam karena
tak ingin membuat ibuku kesakitan. Kubilang jangan nakal, namun kau tak mau
mendengarku dan lebih suka menyusahkan ibumu.
Suatu hari di teras depan, ketika
ibumu dan ibuku sedang berbincang tentang kerinduannya menanti kita, kau
semakin kuat menggeliat. Ibumu merasakan kesakitan luar biasa. Ibuku
kebingungan dan segera berteriak. Ayahmu bergegas datang, memapah ibumu ke
dalam mobil menuju pondok persalinan.
Kau hadir ke dunia dengan tangis
yang sangat keras. Tawa haru menyeruak. Semua gembira menjemputmu. Kau tampan
sekali. Aku iri. Aku juga ingin segera muncul menatap langit dan matahari.
Ibumu turut mengelusku ketika ibuku menjenguknya. Sepertinya ibumu juga tak
sabar menyambut hadirku. Tapi waktu belum mengijinkanku keluar dari rahim yang
gelap ini.
Di dalam rahim ini aku sendiri. Kau
sudah terlebih dulu pergi. Pergi ke dunia baru di mana kau bisa melihat
pelangi. Tiada lagi teman yang kubisa ajak berbagi hati tentang ketakutanku di
sini. Aku takut tak bisa melewati lorong lahir sesukses dirimu. Aku tak mau
jika perut ibuku harus dilukai dengan pisau bedah cesar. Aku ingin lahir sepertimu. Berjuang bersama ibu demi membuat
sekeluarga lega dan gembira akan kehadiranku. Hei, aku merindukanmu. Sekarang
kau sudah punya nama. Namamu Adandi.
Lima puluh delapan hari setelah
kelahiranmu, kurasakan pula sudah tiba giliranku untuk menyusulmu. Aku
menendang memecah ketuban. Ibuku meringis kesakitan seperti ibumu dulu. Kata
bidan posisiku sungsang. Aku menangis, aku sedih karena membuat ibuku merasa
tak nyaman. Aku merasa semakin pengap. Energiku perlahan habis untuk mengeluarkan
diri dari lingkaran panggul ibu. Keringat ibu mengucur deras. Ibumu menemani
ibuku, membiarkan tangannya diremas dengan gemas, sementara kau berada di luar
digendong ayahku, sebab ayahmu sedang pergi keluar kota. Ayahku tak sanggup
melihat darah. Aku tahu kau juga cemas dengan keadaanku. Sesekali kau mengowek
keras, memberikan semangat kepadaku agar tetap bertahan pada kondisi yang sudah
kian ganas.
Ini semua berkat Tuhan, setelah tiga
jam berjuang akupun terlolos. Nafasku tersengal. Susah sekali menjeritkan
tangis untuk menyiarkan pada keluarga bahwa aku telah datang ke dunia.
Setelah dibersihkan, keadaanku pun jadi
lebih baik. Sekarang kita telah bersama lagi. Ibumu mendekatkanmu padaku yang
masih telanjang hendak diganti pakaian dengan selimut tebal. Kau menyambutku
dengan senyum, menautkan jari-jari kecilmu pada jariku yang masih begitu lemah.
Senang sekali bisa berjumpa lagi denganmu di ranjang rumah sakit ini. Lima
puluh delapan hari tak berjumpa, kau nampak semakin tampan saja. Matamu
berbinar dengan kulit yang sudah kencang dan cemerlang dengan wangi cologne bayi yang begitu wangi,
sementara aku masih nampak merah jambu dan keriput di sekujur kepala hingga
kaki. Ayah memberiku nama Adinda.
Setahun sejak kelahiran kita, Ibumu
selalu membawamu bermain ke rumahku. Ibuku selalu senang menyambut sebab aku
bisa bermain denganmu setiap waktu. Tapi kau suka nakal. Kau kerap merusak
rambut bonekaku, membuatnya nampak
begitu jelek dan kusut bagai lilitan tali putri di tanaman kemuning yang
perdu. Setiap kali berhasil merusak mainanku, kau selalu tergelak puas. Kau juga
sering menghabisi bubur pisang susuku hingga tandas. Aku kesal. Suatu kali aku
yang ganti berbuat cela. Kupatahkan tangan mainan robotmu. Kau menangis. Ibuku
memarahiku karena menghancurkan robot mini kesayanganmu. Menyebalkan sekali.
Tapi kita tak pernah lelah bercanda.
Semenjak kita berdua hadir ke dunia, kita selalu menempuh pelajaran bersama.
Berdua kita belajar mengunyah, tengkurap, duduk, hingga belajar merayap. Kau
nampak lebih gesit, sementara aku masih saja takut-takut dan menciut. Kau
bahkan sudah mengajakku berlari, sementara aku belum mampu kokoh menjejakkan
kaki.
Tiga tahun sejak kelahiran kita, kau
mulai menampakkan prestasimu. Aku bahagia sekali saat kau pulang dengan membawa
piala babystar. Kau memang sangat
enerjik sejak dalam rahim. Semua orang gemas padamu, selalu ingin mencubit
pipimu. Rasakan! Memangnya enak jadi selebriti.
Kau selalu mengeluh padaku karena
pipimu lebam dijawil ratusan jari. Aku mendengar
kesahmu dengan sendu. Kau selalu senang waktu tanganku mengelus untuk meredakan
nyeri di pipimu. Setelah sakit berkurang, kau selalu mengajakku memainkan tuts-tuts piano dengan nada yang sangat
berantakan. Berisik sekali, membangunkan ayahmu yang sedang beristirahat siang
di dalam kamar. Kita juga suka mengobok-obok akuarium, berusaha menangkap ikan
emas yang selalu berusaha kabur dari usaha jerat cengkeraman tangan-tangan
kecil kita, hingga akhirnya ikan itu mati karena terlampau depresi.
Lima tahun sejak kelahiran kita, ibumu
dan ibuku mendaftarkan kau dan aku pada sekolah yang sama, di sebuah taman
kanak-kanak yang tak jauh dari tempat tinggal kita. Setiap pagi kau selalu
datang ke rumahku, menjemputku terlebih dahulu lalu berangkat bersama dengan
jalan kaki. Kau selalu memilih posisi dekat jalanan, dan membiarkanku berjalan
di sisi tepian. Kau bilang agar aku aman kalau-kalau ada motor atau sepeda yang
sedang melaju kencang.
Ketika aku sesak dan panas tinggi,
kau pun tak pernah mau pergi dari kamarku. Kau temani aku, menghiburku dengan
tingkah lucu, hingga kau sering turut terlelap di ranjangku. Saat itulah ayahmu
datang, menggendongmu pulang agar kau bisa beristirahat di tempat tidurmu.
Katamu juga, kita berdua harus
kompak dan melengkapi. Kau selalu memintaku membawa bekal makanan, lalu kau
yang membawa bekal minuman. Aku menurut. Ibuku memang lebih pintar memasak
daripada ibumu. Setiap hari ibu selalu bersenang hati menyediakan bekal untukku
agar dibagi bersamamu ketika makan siang.
Di sekolah, kita duduk sebangku. Kau
yang selalu mengajariku mengeja dan membaca. Kau juga yang selalu membantuku
belajar berhitung. Kau memang anak pintar. Selalu dipuji guru. Aku senang kau
sudah tidak nakal lagi seperti waktu masih bayi.
Kau juga selalu membelaku. Tiap ada
kakak dari kelas nol besar yang ingin merebut bekal kita, kau selalu
menghadapinya dengan gagah berani. Kau pernah berkelahi, hanya untuk
melindungiku dari kejahilan kakak nol besar yang menakutiku dengan anak kodok menjijikkan
dan bikin geli. Ketika aku menangis, kau
selalu merangkulku, menghiburku bahwa keadaan sudah damai dan terkendali. Setelah
itu, kau mengajakku main ayunan. Kau menyuruhku duduk, sementara kau yang
mendorong dari belakang pelan-pelan.
Tujuh tahun sejak kelahiran kita,
ayahku dan ayahmu sepakat bahwa kita harus tetap sekolah di tempat yang sama.
Kali ini sekolah kita lebih jauh, tak bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki.
Namun kau selalu berbaik hati menjemputku dengan sepeda, memboncengku setiap
pagi dengan ceria tanpa merasa lelah. Ibumu dan ibuku senang melihat kita
selalu rukun dan bersahabat. Aku lebih senang sebab kau tak pernah
meninggalkanku, juga tak pernah sekalipun berbuat iseng maupun jahat.
Semakin banyak tahun yang kulewati
denganmu. Prestasimu semakin gemilang dan tak bisa dihitung jari. Semua
mengidolaimu, semua ingin mengenal dan dekat denganmu. Aku semakin bangga
karena kau menjadi bintang yang tak pernah mati. Bagiku kau adalah matahari,
tanpamu aku takkan pernah bisa menapak sekuat ini. Kau yang selalu menjagaku, bagai
pagar yang selalu melindungi bunga dari serangan kurcaci.
Kita tumbuh dewasa bersama, hingga
akhirnya kukenal rasa cinta. Setiap hari kau yang selalu bersamaku, setiap hari
pula bibit-bibit rasa kasih itu tumbuh bagai darah di aliran pembuluhku. Rasa
ini rapi kupendam ribuan hari sebab kau terlanjur menjadi selebriti. Terlalu
banyak yang menaruh hati. Tak ada seorangpun yang tak kenal Adandi, sang idola dengan
sepuluh juta pesona tak tertandingi.
Hari ini adalah ulang tahunmu yang
ke-25. Kau menjadi sosok lelaki terkenal dan dikagumi. Semenjak menyelesaikan
S2 di Qatar dan menulis buku dengan tiras penjualan tertinggi, kau semakin tak
dapat kugapai. Perasaan ini masih saja kusimpan seiring denyut nadi. Berharap kau
tahu, namun selalu enggan kukatakan, hingga akhirnya akupun harus kehilanganmu
sebelum sempat bersama menapaki jalan.
Besok kau akan menikahi seorang tuan
putri. Tuan putri yang begitu jelita. Selaras sekali dengan pesonamu yang tak
juga ada matinya. Hatiku pedih, sebab kuharus melepas cinta yang sudah begitu
rapat mengumpul sebanyak buih.
Di teras rumah ini kau dan aku duduk
bertatap muka. Teras rumah di mana ketika itu ibumu pertama kali merasakan
kontraksi kelahiranmu. Di muka kita adalah halaman tempat kita pernah membangun
rumah pasir dengan gelak khas kanak-kanak.
Aku galau melihatmu tepat di
hadapanku. Kukenang masa kecil kita di kala lampau. Kupandangi pipimu yang dulu
sering kuelus untuk menawar ngilu cubitan penggemar yang menderu. Namun kini
semua kemesraan itu seakan lewat begitu saja seperti terburu. Waktu begitu
cepat berlalu sementara aku bahkan belum sempat memberimu bunga untuk
memberitahukan rasa kasihku padamu.
“Besok kau sudah resmi jadi suami…,”
kataku lirih membuka percakapan.
Kau mengangguk dan tersenyum. Nampak
rona bahagia, sekaligus simpanan rasa gundah yang tak mampu digubah.
“Kau benar,” jawabmu singkat, begitu
datar.
Gelisahku semakin menjadi. Hatiku
kembang kempis menahan semacam amarah dan benci sebab kau akan membangun istana
baru, merobohkan rumah pasir yang dulu pernah kubuat bersamamu.
“Selama ini kau yang selalu
menjagaku. Besok kau sudah tak bisa lagi menjadi pelindungku, ada orang lain
yang lebih wajib kau lindungi,” suaraku bergetar. Aku mulai tak bisa
menyembunyikan gejala tumpahnya airmata.
Kau lurus menatap wajahku, melihat
kedua bola mataku dengan begitu dalam. Lalu kau merangkul leherku. Aku
membalas. Airmata ini satu per satu leleh dengan sangat deras. Aku tak ingin melepasmu,
sungguh aku tak sanggup membiarkanmu bersanding dengan tuan putri. Hatiku
cedera. Mirip sebentuk pipi yang digores silet-silet baja.
“Aku sayang padamu, Adandi,”
akhirnya kata itu keluar di antara dekapan meskipun sudah sangat terlambat
untuk diucapkan.
Langit berona kelabu. Setitik
gerimis jatuh, lalu disusul rintik-rintik berikutnya, semakin banyak, semakin
menderas menit demi menit. Kau dan aku masih terus berangkulan, mengolah waktu
tersisa kita berdua sebelum esok janji suci dihelat megah. Jantungku semakin
sakit membayangkan. Aku tak tahan. Lalu pelan-pelan kuhunus belati tajam dari
sarangnya, begitu pelan, begitu senyap, hingga ia menancap tepat di ulu hatimu,
merembeskan merah segar memenuhi baju putihmu. Kau menggelepar.
Kau adalah cinta pertama, cinta yang
telah kumulai semenjak kita dalam rahim bunda. Kau adalah dendam dan kasihku yang
bersegel rahasia. Kau dan aku hanya Adandi dan Adinda, takkan pernah satu,
tetap menjadi dua. Cintaku terlalu dalam menembus jurang. Aku luka. Aku takkan
pernah rela kau dicumbu bidadari atau tuan putri dari penjuru manapun. Lebih
baik aku membunuhmu, biar tak ada yang dapat menyentuh dan menikmatimu dengan
leluasa.
Dan kini kau hanyalah seonggok
mayat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar