Rabu, 05 Desember 2012

ADANDI ADINDA

Cerpen ADANDI ADINDA meraih juara 3 Lomba Menulis Cerpen tema Luka Hati yang diselenggarakan Penerbit Pustaka Jingga


ADANDI ADINDA
oleh: ENDAH WAHYUNI
 
Usiamu sudah memasuki bulan kesembilan di dalam janin. Ibumu tak henti-hentinya mencurahkan kegelisahannya pada ibuku. Kau semakin kuat menendang, sementara aku lebih suka diam karena tak ingin membuat ibuku kesakitan. Kubilang jangan nakal, namun kau tak mau mendengarku dan lebih suka menyusahkan ibumu.
Suatu hari di teras depan, ketika ibumu dan ibuku sedang berbincang tentang kerinduannya menanti kita, kau semakin kuat menggeliat. Ibumu merasakan kesakitan luar biasa. Ibuku kebingungan dan segera berteriak. Ayahmu bergegas datang, memapah ibumu ke dalam mobil menuju pondok persalinan.
Kau hadir ke dunia dengan tangis yang sangat keras. Tawa haru menyeruak. Semua gembira menjemputmu. Kau tampan sekali. Aku iri. Aku juga ingin segera muncul menatap langit dan matahari. Ibumu turut mengelusku ketika ibuku menjenguknya. Sepertinya ibumu juga tak sabar menyambut hadirku. Tapi waktu belum mengijinkanku keluar dari rahim yang gelap ini.
Di dalam rahim ini aku sendiri. Kau sudah terlebih dulu pergi. Pergi ke dunia baru di mana kau bisa melihat pelangi. Tiada lagi teman yang kubisa ajak berbagi hati tentang ketakutanku di sini. Aku takut tak bisa melewati lorong lahir sesukses dirimu. Aku tak mau jika perut ibuku harus dilukai dengan pisau bedah cesar. Aku ingin lahir sepertimu. Berjuang bersama ibu demi membuat sekeluarga lega dan gembira akan kehadiranku. Hei, aku merindukanmu. Sekarang kau sudah punya nama. Namamu Adandi.
Lima puluh delapan hari setelah kelahiranmu, kurasakan pula sudah tiba giliranku untuk menyusulmu. Aku menendang memecah ketuban. Ibuku meringis kesakitan seperti ibumu dulu. Kata bidan posisiku sungsang. Aku menangis, aku sedih karena membuat ibuku merasa tak nyaman. Aku merasa semakin pengap. Energiku perlahan habis untuk mengeluarkan diri dari lingkaran panggul ibu. Keringat ibu mengucur deras. Ibumu menemani ibuku, membiarkan tangannya diremas dengan gemas, sementara kau berada di luar digendong ayahku, sebab ayahmu sedang pergi keluar kota. Ayahku tak sanggup melihat darah. Aku tahu kau juga cemas dengan keadaanku. Sesekali kau mengowek keras, memberikan semangat kepadaku agar tetap bertahan pada kondisi yang sudah kian ganas.
Ini semua berkat Tuhan, setelah tiga jam berjuang akupun terlolos. Nafasku tersengal. Susah sekali menjeritkan tangis untuk menyiarkan pada keluarga bahwa aku telah datang ke dunia.
Setelah dibersihkan, keadaanku pun jadi lebih baik. Sekarang kita telah bersama lagi. Ibumu mendekatkanmu padaku yang masih telanjang hendak diganti pakaian dengan selimut tebal. Kau menyambutku dengan senyum, menautkan jari-jari kecilmu pada jariku yang masih begitu lemah. Senang sekali bisa berjumpa lagi denganmu di ranjang rumah sakit ini. Lima puluh delapan hari tak berjumpa, kau nampak semakin tampan saja. Matamu berbinar dengan kulit yang sudah kencang dan cemerlang dengan wangi cologne bayi yang begitu wangi, sementara aku masih nampak merah jambu dan keriput di sekujur kepala hingga kaki. Ayah memberiku nama Adinda.
Setahun sejak kelahiran kita, Ibumu selalu membawamu bermain ke rumahku. Ibuku selalu senang menyambut sebab aku bisa bermain denganmu setiap waktu. Tapi kau suka nakal. Kau kerap merusak rambut bonekaku, membuatnya nampak  begitu jelek dan kusut bagai lilitan tali putri di tanaman kemuning yang perdu. Setiap kali berhasil merusak mainanku, kau selalu tergelak puas. Kau juga sering menghabisi bubur pisang susuku hingga tandas. Aku kesal. Suatu kali aku yang ganti berbuat cela. Kupatahkan tangan mainan robotmu. Kau menangis. Ibuku memarahiku karena menghancurkan robot mini kesayanganmu. Menyebalkan sekali.
Tapi kita tak pernah lelah bercanda. Semenjak kita berdua hadir ke dunia, kita selalu menempuh pelajaran bersama. Berdua kita belajar mengunyah, tengkurap, duduk, hingga belajar merayap. Kau nampak lebih gesit, sementara aku masih saja takut-takut dan menciut. Kau bahkan sudah mengajakku berlari, sementara aku belum mampu kokoh menjejakkan kaki.
Tiga tahun sejak kelahiran kita, kau mulai menampakkan prestasimu. Aku bahagia sekali saat kau pulang dengan membawa piala babystar. Kau memang sangat enerjik sejak dalam rahim. Semua orang gemas padamu, selalu ingin mencubit pipimu. Rasakan! Memangnya enak jadi selebriti.
Kau selalu mengeluh padaku karena pipimu lebam dijawil ratusan  jari. Aku mendengar kesahmu dengan sendu. Kau selalu senang waktu tanganku mengelus untuk meredakan nyeri di pipimu. Setelah sakit berkurang, kau selalu mengajakku memainkan tuts-tuts piano dengan nada yang sangat berantakan. Berisik sekali, membangunkan ayahmu yang sedang beristirahat siang di dalam kamar. Kita juga suka mengobok-obok akuarium, berusaha menangkap ikan emas yang selalu berusaha kabur dari usaha jerat cengkeraman tangan-tangan kecil kita, hingga akhirnya ikan itu mati karena terlampau depresi.
Lima tahun sejak kelahiran kita, ibumu dan ibuku mendaftarkan kau dan aku pada sekolah yang sama, di sebuah taman kanak-kanak yang tak jauh dari tempat tinggal kita. Setiap pagi kau selalu datang ke rumahku, menjemputku terlebih dahulu lalu berangkat bersama dengan jalan kaki. Kau selalu memilih posisi dekat jalanan, dan membiarkanku berjalan di sisi tepian. Kau bilang agar aku aman kalau-kalau ada motor atau sepeda yang sedang melaju kencang.
Ketika aku sesak dan panas tinggi, kau pun tak pernah mau pergi dari kamarku. Kau temani aku, menghiburku dengan tingkah lucu, hingga kau sering turut terlelap di ranjangku. Saat itulah ayahmu datang, menggendongmu pulang agar kau bisa beristirahat di tempat tidurmu.
Katamu juga, kita berdua harus kompak dan melengkapi. Kau selalu memintaku membawa bekal makanan, lalu kau yang membawa bekal minuman. Aku menurut. Ibuku memang lebih pintar memasak daripada ibumu. Setiap hari ibu selalu bersenang hati menyediakan bekal untukku agar dibagi bersamamu ketika makan siang.
Di sekolah, kita duduk sebangku. Kau yang selalu mengajariku mengeja dan membaca. Kau juga yang selalu membantuku belajar berhitung. Kau memang anak pintar. Selalu dipuji guru. Aku senang kau sudah tidak nakal lagi seperti waktu masih bayi.
Kau juga selalu membelaku. Tiap ada kakak dari kelas nol besar yang ingin merebut bekal kita, kau selalu menghadapinya dengan gagah berani. Kau pernah berkelahi, hanya untuk melindungiku dari kejahilan kakak nol besar yang menakutiku dengan anak kodok menjijikkan dan bikin geli. Ketika  aku menangis, kau selalu merangkulku, menghiburku bahwa keadaan sudah damai dan terkendali. Setelah itu, kau mengajakku main ayunan. Kau menyuruhku duduk, sementara kau yang mendorong dari belakang pelan-pelan.
Tujuh tahun sejak kelahiran kita, ayahku dan ayahmu sepakat bahwa kita harus tetap sekolah di tempat yang sama. Kali ini sekolah kita lebih jauh, tak bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Namun kau selalu berbaik hati menjemputku dengan sepeda, memboncengku setiap pagi dengan ceria tanpa merasa lelah. Ibumu dan ibuku senang melihat kita selalu rukun dan bersahabat. Aku lebih senang sebab kau tak pernah meninggalkanku, juga tak pernah sekalipun berbuat iseng maupun jahat.
Semakin banyak tahun yang kulewati denganmu. Prestasimu semakin gemilang dan tak bisa dihitung jari. Semua mengidolaimu, semua ingin mengenal dan dekat denganmu. Aku semakin bangga karena kau menjadi bintang yang tak pernah mati. Bagiku kau adalah matahari, tanpamu aku takkan pernah bisa menapak sekuat ini. Kau yang selalu menjagaku, bagai pagar yang selalu melindungi bunga dari serangan kurcaci.
Kita tumbuh dewasa bersama, hingga akhirnya kukenal rasa cinta. Setiap hari kau yang selalu bersamaku, setiap hari pula bibit-bibit rasa kasih itu tumbuh bagai darah di aliran pembuluhku. Rasa ini rapi kupendam ribuan hari sebab kau terlanjur menjadi selebriti. Terlalu banyak yang menaruh hati. Tak ada seorangpun yang tak kenal Adandi, sang idola dengan sepuluh juta pesona tak tertandingi.
            Hari ini adalah ulang tahunmu yang ke-25. Kau menjadi sosok lelaki terkenal dan dikagumi. Semenjak menyelesaikan S2 di Qatar dan menulis buku dengan tiras penjualan tertinggi, kau semakin tak dapat kugapai. Perasaan ini masih saja kusimpan seiring denyut nadi. Berharap kau tahu, namun selalu enggan kukatakan, hingga akhirnya akupun harus kehilanganmu sebelum sempat bersama menapaki jalan.
            Besok kau akan menikahi seorang tuan putri. Tuan putri yang begitu jelita. Selaras sekali dengan pesonamu yang tak juga ada matinya. Hatiku pedih, sebab kuharus melepas cinta yang sudah begitu rapat mengumpul sebanyak buih.
Di teras rumah ini kau dan aku duduk bertatap muka. Teras rumah di mana ketika itu ibumu pertama kali merasakan kontraksi kelahiranmu. Di muka kita adalah halaman tempat kita pernah membangun rumah pasir dengan gelak khas kanak-kanak.
Aku galau melihatmu tepat di hadapanku. Kukenang masa kecil kita di kala lampau. Kupandangi pipimu yang dulu sering kuelus untuk menawar ngilu cubitan penggemar yang menderu. Namun kini semua kemesraan itu seakan lewat begitu saja seperti terburu. Waktu begitu cepat berlalu sementara aku bahkan belum sempat memberimu bunga untuk memberitahukan rasa kasihku padamu.
“Besok kau sudah resmi jadi suami…,” kataku lirih membuka percakapan.
Kau mengangguk dan tersenyum. Nampak rona bahagia, sekaligus simpanan rasa gundah yang tak mampu digubah.
“Kau benar,” jawabmu singkat, begitu datar.
Gelisahku semakin menjadi. Hatiku kembang kempis menahan semacam amarah dan benci sebab kau akan membangun istana baru, merobohkan rumah pasir yang dulu pernah kubuat bersamamu.
“Selama ini kau yang selalu menjagaku. Besok kau sudah tak bisa lagi menjadi pelindungku, ada orang lain yang lebih wajib kau lindungi,” suaraku bergetar. Aku mulai tak bisa menyembunyikan gejala tumpahnya airmata.
Kau lurus menatap wajahku, melihat kedua bola mataku dengan begitu dalam. Lalu kau merangkul leherku. Aku membalas. Airmata ini satu per satu leleh dengan sangat deras. Aku tak ingin melepasmu, sungguh aku tak sanggup membiarkanmu bersanding dengan tuan putri. Hatiku cedera. Mirip sebentuk pipi yang digores silet-silet baja.
“Aku sayang padamu, Adandi,” akhirnya kata itu keluar di antara dekapan meskipun sudah sangat terlambat untuk diucapkan.
Langit berona kelabu. Setitik gerimis jatuh, lalu disusul rintik-rintik berikutnya, semakin banyak, semakin menderas menit demi menit. Kau dan aku masih terus berangkulan, mengolah waktu tersisa kita berdua sebelum esok janji suci dihelat megah. Jantungku semakin sakit membayangkan. Aku tak tahan. Lalu pelan-pelan kuhunus belati tajam dari sarangnya, begitu pelan, begitu senyap, hingga ia menancap tepat di ulu hatimu, merembeskan merah segar memenuhi baju putihmu. Kau menggelepar.
Kau adalah cinta pertama, cinta yang telah kumulai semenjak kita dalam rahim bunda. Kau adalah dendam dan kasihku yang bersegel rahasia. Kau dan aku hanya Adandi dan Adinda, takkan pernah satu, tetap menjadi dua. Cintaku terlalu dalam menembus jurang. Aku luka. Aku takkan pernah rela kau dicumbu bidadari atau tuan putri dari penjuru manapun. Lebih baik aku membunuhmu, biar tak ada yang dapat menyentuh dan menikmatimu dengan leluasa.
Dan kini kau hanyalah seonggok mayat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar