![]() |
Curcol Anton Bukan Idiot menjadi salah satu kontributor pemenang dalam lomba menulis kisah Indahnya Berbagi yang diselenggarakan oleh Penerbit Oase Qalbu |
Dengan usaha yang tidak begitu keras akhirnya aku lolos sebagai pengajar di lembaga bimbingan belajar ini. Ya maklum, hanya bimbel lokal, pemiliknyapun ternyata juga seorang mahasiswa yang sedang belajar bisnis. Namun senang sekali rasanya, akhirnya hidupku tidak hanya sebatas kuliah dan kos-kosan, aku bisa belajar mengajar, memanfaatkan ilmu yang kudapat di kampus. Bosku bernama Given, perempuan etnis peranakan Cina. Meskipun pemeluk Budha, tapi dia sangat menghormatiku sebagai muslim.
Aku
mengajar bocah-bocah SD, mencakup semua mata pelajaran, padahal bidang asliku
adalah bahasa Indonesia. Ah, diterima saja sudah untung, sebab hampir semua
bimbel tidak menerima pengajar dari jurusan bahasa Indonesia. Kebanyakan kalau
tidak bahasa Inggris ya hanya bidang ilmu-ilmu eksak. Aneh, padahal pada ujian
nasional, nilai yang kerap anjlok justru di bahasa Indonesia. Hanya di
Indonesia, masyarakat sering meremehkan bahasa sendiri, dianggap tak penting,
dianggap setiap hari sudah ngomong bahasa Indonesia, tak perlu lagi dipelajari.
Nama
bimbel ini Brilliant. Tidak akan didapati ruang yang nyaman dan representatif
seperti bimbel-bimbel yang sudah tersohor di Indonesia. Given membuka lapaknya
di salah satu kampung kecil. Dia menyewa satu ruangan di rumah milik pamannya
sebagai kelas. Ya, hanya satu ruangan. Lesehan.
Ini
hari pertamaku. Murid-murid telah datang. Hanya empat orang. Itupun hanya
anak-anak kampung sekitar. Salah seorang yang menarik perhatianku adalah Anton.
Nama lengkapnya Anton Subekti. Menurutku itu adalah nama yang cukup keren bagi
anak yang tinggal di daerah kecil seperti ini. Sekilas kupandangi perawakannya,
terlalu biasa, dengan warna kulit coklat gelap dan kusam, efek terlalu sering
bermain di bawah terik matahari.
Aku
menyapanya dengan riang, namun dia membalasku dengan tatapan aneh, semacam ada
ekspresi cuek, takut, namun tetap siaga waspada terhadap orang asing. Dia diam,
tak mengeluarkan sepatah katapun, tenggelam asyik bermain motor-motoran plastik
yang sepertinya hadiah dari jajanan chiki yang sedari tadi dipeganginya.
Anton
masih kelas dua, salah, seharusnya sudah kelas lima SD. Dia sering tinggal
kelas karena bodoh. Ya, setidaknya itulah sekilas informasi yang kudapat dari
Bayu dan Senja, dua anak lain yang sedang kuajar. Sedangkan dari Given, dia
hanya memberitahuku bahwa Anton memang lambat belajar.
Learning disability?
Given
menggeleng. Bukan karena dia tahu apa yang terjadi, tapi karena dia memang
tidak tahu menahu soal Anton. Ah tentu saja, Given kuliah di jurusan manajemen,
mana dia tahu soal beginian. Yang dia tahu hanyalah dia mengelola bimbelnya
dengan baik, urusan anak didik dia serahkan kepada pengajar. Given hanya tahu
orangtua Anton mendaftarkan anaknya di Brilliant agar Anton bisa belajar dengan
baik dan naik kelas dengan nilai bagus.
Aku
semakin terkejut. Anton tidak bisa membaca, padahal untuk usia seperti Anton
seharusnya dia sudah mampu membaca novel anak-anak. Pantas saja ketika kusuruh
mengerjakan soal dia tak bergerak sedikitpun. Padahal sudah kupaksa, bahkan
sempat kubentak, karena sedari tadi dia hanya diam, bahkan terus saja bermain
dengan mainan motor plastiknya.
Lalu
bagaimana sekolah Anton selama ini? Bagaimana dia mengerjakan tugas? Bagaimana
dia bisa mengerjakan ulangan?
Aku
dekati Anton, kulihat bukunya. Dia bisa menulis. Tulisannya kacau, tegak
bersambung dan tidak proporsional. Dia menyerahkan LKS IPS kepadaku, memintaku
membantu mengerjakannya. Aku mengangguk, meskipun aku harus membantunya dengan
cara yang kurang wajar sebagai pengajar. Aku memberitahu jawabannya
mentah-mentah─sesuatu yang sebenarnya selalu kuhindari karena membuat murid
tidak mau berpikir dan kreatif─, lalu
membimbingnya mendikte setiap huruf dari jawaban itu. Waktu mendadak berjalan
lambat. Sudah kudikte dengan jelas, namun Anton masih saja salah menulis huruf.
Dia sering menghapus tulisannya, membuat LKS nya begitu kusam dan kumal. Rasanya
sungguh jengkel karena harus mengejakan huruf untuknya berulang-ulang.
Aku
berbincang dengan Given, menanyakan riwayat belajar Anton.
“Dulu
dia pernah didaftarkan orangtuanya di Sekolah Luar Biasa, tapi dia ditolak
karena Anton dinilai normal dan tidak menyandang cacat. Itulah mengapa sampai
saat ini dia tetap belajar di sekolah umum,” terang Given seadanya.
Aku
mengangguk. Anak itu memang lambat dalam belajar. Butuh perhatian ekstra,
apalagi dia sudah berkali-kali tinggal kelas.
Kubuka
textbook psikolinguistik. Tak salah
lagi, Anton menderita disleksia. Semua ciri-ciri sudah menempel padanya. Tidak
bisa mengeja, menulis tanpa spasi, perhatian mudah teralih, sulit berkomunikasi,
dan lain sebagainya.
Hari-hari
selanjutnya aku lebih memerhatikan Anton. Bayu, Senja dan Atika sudah cerdas,
jadi lebih gampang dikendalikan. Namun Anton tidak. Dia harus belajar
benar-benar mulai dari awal. Kugunakan waktu untuk mengajari Anton mengeja huruf,
lalu menulis namanya sendiri. Rasanya memang jauh berbeda ketika harus
mengajari anak yang tidak memiliki gangguan serupa disleksia. Hanya untuk
menulis ‘Anton’ saja membutuhkan waktu hampir setengah jam.
Di
hadapan Anton mendadak aku merasa menjadi orang yang sangat berguna. Padahal
sebelumnya aku merasa hidupku sangat datar, aku tidak terlalu pandai di kampus,
juga tidak mempunyai prestasi yang bisa dibanggakan. Tapi ketika membantu Anton
belajar, aku merasa mendapat kepuasan batin yang tak bisa dijabarkan dengan
kata-kata. Aku memang tak bisa memberikan apa-apa untuk Anton, tapi setidaknya
aku tahu kalau dia menderita disleksia, sehingga orangtua Anton tahu kalau
anaknya bukanlah anak bodoh atau abnormal.
Hanya
inilah yang bisa kuberikan pada Anton. Bukan uang, atau mainan mahal, tapi
hanya bisa mengajarinya mengeja, membaca dan menulis huruf. Aku harap ketika
sudah dewasa Anton tidak rendah diri dengan kekurangannya ini. Bukankah Thomas
Alfa Edison, Walt Disney dan Tom Cruise juga penderita disleksia?
Benar
apa kata Christopher McCandless: happiness
is only real when shared. Kebahagiaan itu ada jika kita mau berbagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar