KISAH KECIL DI BERANDA
Secarik
Cerita Nyata Di Antara Kita
Kau
datang menggerasak begitu saja, menawarkan cinta tanpa bunga atau senjata
rupa-rupa. Aku menjauh, berlari, menghindar, namun kau merapat, mendekat dan
kian menjerat.
Apa
istimewamu? Di mataku kau hanya segumpal daging berjalan agak tampan dengan
pipi seranum jambu biji. Bibirmu merekah merah muda, begitu lembut seolah aku
menyesap krim susu vanilla.
Aku
tak pernah benar-benar menginginkanmu. Namun episode setengah hati itu berakhir
pada suatu pagi di hari Minggu bulan Mei. Kau biarkan jemarimu dikotori saus
sambal. Dengan sabar kau membukakan cangkang kepiting agar bisa leluasa
kumakan, merelakan gigimu bergemerutuk ramai seolah mengunyah remah-remah kaca.
Lalu tanganmu, penuh kasih, menyuapkan daging putih itu ke mulutku. Aku lahap
mengunyah, kau buat aku kenyang tanpa membiarkan aku terserit luka apalagi
darah. Aku hanya tinggal diam duduk tenang, menyaksikanmu dengan damai saat kau
bersusah payah memecah cangkang hingga belah.
Kau
pernah pula memaksaku. Menyeretku dari tempat tidur di pagi buta, meneriakiku
agar segera mandi dan berganti baju. Aku kesal, ingin sekali kumenghajarmu
karena telah mengganggu lelapku. Kau segera menstarter motormu. Ibumu
menyiapkan mantel agar kita tak terlalu kuyup diguyur langit yang sedang
menangis histeris. Hujan deras dahsyat, kabut begitu tebal bagai jelaga putih
yang tak lumat, angin kencang menghempas keras, namun kau rela menerjang badai
dalam jarak perjalanan yang tak sebentar demi mengantarku mengejar ujian. Kau
menungguiku di depan kelas dengan baju lembab dan celana basah. Apa kau tahu
betapa galaunya aku memandangimu dari balik kaca jendela? Kau melempar senyum
lugu seolah keadaanmu baik-baik saja. Aku bisu. Mulai sadar betapa beruntungnya
aku memilikimu.
Pada
episode yang lebih lalu. Kau mengabulkan pintaku menerobos kabut dingin di
kebun Apel. Kau menggigil, namun aku tetap merengek agar kau menemaniku
menembus jalanan hingga wajahmu begitu pasi diterpa udara sebeku Antartika. Itu
kencan pertama kita, dan aku mengajakmu mencuri buah kesemek yang bergelantung
meriah di tepi jalan dekat air terjun. Kau bilang, cintamu padaku tak berkurang
apalagi berpaling meski aku telah menyeretmu menjadi maling.
Lelakiku,
majas hiperbola setinggi langit pun takkan mampu mengilustrasikan betapa besar
volume jiwamu menerima segala tingkahku yang kerap memutus pembuluh jantungmu.
Betulkah kau cinta? Ah, tak pantas aku bertanya. Bodoh! Keterlaluan! Gila jika
aku masih saja tak percaya. Matamu, tanganmu, tabahmu, telah begitu lancar
berbicara tanpa aku harus melempar curiga. Kau bagai kedalaman telaga semburat
tosca yang selalu menjadi kawan terbaik bagi Nymphaea Odorata yang sedang genit berbunga.
Kau
beri kasih tanpa pamrih, sayangmu tanpa tanda seru, mencinta tanpa tanda tanya.
Mana mungkin aku mencampakkan jiwamu yang tulus dan setia mengusik tanpa tanda
titik. Kau tetap duduk di sebelahku meski aku kerap menghujam palu ke kepala
hingga kakimu. Kau biarkan bahumu ditinju gelagat manjaku, kau biarkan dadamu
ditimpa berliter airmata gulanaku, kau biarkan perutmu menjadi sarang lampiasan
amarahku. Manusia macam apa kau, Lelakiku? Apa artiku bagimu?
Begundalku, kau segalanya bagiku,
Monosodium Glutamat yang selalu membuat rasaku kian kuat dan tambah pekat. Jawabmu.
Lelakiku,
terimakasih telah memilihku, meski aku tahu kelak kebahagian kita akan dimulai
dengan merangkak dan merayap di rumput basah dan jalan berbatu. Kebersamaan
kita akan selalu bersisian, menyusun balok demi balok batu bata untuk membangun
dua jiwa hingga cinta diputus habisnya usia.
Jangan
kau beranjak ke mana-mana, tetaplah di sisiku, menemaniku, di kala gelap, di
kala terang, seperti lentera abadi yang memberi pantulannya dengan setia.
E. Wahyuni & A. Afandi
***
siippp,...
BalasHapus