Rabu, 05 Desember 2012

HADIAH ULANG TAHUN UNTUK AFANDI

Seringkali wanita merasa bingung untuk memberikan hadiah yang tepat untuk pria tercinta. Baju, jam tangan, parfum, dasi, mug, barangkali menjadi sajian kado yang sudah sangat basi dan biasa. Itu pula yang terjadi padaku ketika harus memikirkan kado apa yang tepat untuk ulang tahun Afandi yang ke-24 pada 28 Agustus 2012 lalu. Dan akhirnya inilah, sebuah buku antologi tentang romantisme tentang makanan yang kususun bersama teman-teman penulis indie. Buku ini dirilis istimewa untuk Afandi, sebagai kado ulang tahun yang kupersembahkan untuknya ^_^




KISAH KECIL DI BERANDA
Secarik Cerita Nyata Di Antara Kita

Kau datang menggerasak begitu saja, menawarkan cinta tanpa bunga atau senjata rupa-rupa. Aku menjauh, berlari, menghindar, namun kau merapat, mendekat dan kian menjerat.
Apa istimewamu? Di mataku kau hanya segumpal daging berjalan agak tampan dengan pipi seranum jambu biji. Bibirmu merekah merah muda, begitu lembut seolah aku menyesap krim susu vanilla.
Aku tak pernah benar-benar menginginkanmu. Namun episode setengah hati itu berakhir pada suatu pagi di hari Minggu bulan Mei. Kau biarkan jemarimu dikotori saus sambal. Dengan sabar kau membukakan cangkang kepiting agar bisa leluasa kumakan, merelakan gigimu bergemerutuk ramai seolah mengunyah remah-remah kaca. Lalu tanganmu, penuh kasih, menyuapkan daging putih itu ke mulutku. Aku lahap mengunyah, kau buat aku kenyang tanpa membiarkan aku terserit luka apalagi darah. Aku hanya tinggal diam duduk tenang, menyaksikanmu dengan damai saat kau bersusah payah memecah cangkang hingga belah.
Kau pernah pula memaksaku. Menyeretku dari tempat tidur di pagi buta, meneriakiku agar segera mandi dan berganti baju. Aku kesal, ingin sekali kumenghajarmu karena telah mengganggu lelapku. Kau segera menstarter motormu. Ibumu menyiapkan mantel agar kita tak terlalu kuyup diguyur langit yang sedang menangis histeris. Hujan deras dahsyat, kabut begitu tebal bagai jelaga putih yang tak lumat, angin kencang menghempas keras, namun kau rela menerjang badai dalam jarak perjalanan yang tak sebentar demi mengantarku mengejar ujian. Kau menungguiku di depan kelas dengan baju lembab dan celana basah. Apa kau tahu betapa galaunya aku memandangimu dari balik kaca jendela? Kau melempar senyum lugu seolah keadaanmu baik-baik saja. Aku bisu. Mulai sadar betapa beruntungnya aku memilikimu.
Pada episode yang lebih lalu. Kau mengabulkan pintaku menerobos kabut dingin di kebun Apel. Kau menggigil, namun aku tetap merengek agar kau menemaniku menembus jalanan hingga wajahmu begitu pasi diterpa udara sebeku Antartika. Itu kencan pertama kita, dan aku mengajakmu mencuri buah kesemek yang bergelantung meriah di tepi jalan dekat air terjun. Kau bilang, cintamu padaku tak berkurang apalagi berpaling meski aku telah menyeretmu menjadi maling.
Lelakiku, majas hiperbola setinggi langit pun takkan mampu mengilustrasikan betapa besar volume jiwamu menerima segala tingkahku yang kerap memutus pembuluh jantungmu. Betulkah kau cinta? Ah, tak pantas aku bertanya. Bodoh! Keterlaluan! Gila jika aku masih saja tak percaya. Matamu, tanganmu, tabahmu, telah begitu lancar berbicara tanpa aku harus melempar curiga. Kau bagai kedalaman telaga semburat tosca yang selalu menjadi kawan terbaik bagi Nymphaea Odorata yang sedang genit berbunga.
Kau beri kasih tanpa pamrih, sayangmu tanpa tanda seru, mencinta tanpa tanda tanya. Mana mungkin aku mencampakkan jiwamu yang tulus dan setia mengusik tanpa tanda titik. Kau tetap duduk di sebelahku meski aku kerap menghujam palu ke kepala hingga kakimu. Kau biarkan bahumu ditinju gelagat manjaku, kau biarkan dadamu ditimpa berliter airmata gulanaku, kau biarkan perutmu menjadi sarang lampiasan amarahku. Manusia macam apa kau, Lelakiku? Apa artiku bagimu?
Begundalku, kau segalanya bagiku, Monosodium Glutamat yang selalu membuat rasaku kian kuat dan tambah pekat. Jawabmu.
Lelakiku, terimakasih telah memilihku, meski aku tahu kelak kebahagian kita akan dimulai dengan merangkak dan merayap di rumput basah dan jalan berbatu. Kebersamaan kita akan selalu bersisian, menyusun balok demi balok batu bata untuk membangun dua jiwa hingga cinta diputus habisnya usia.
Jangan kau beranjak ke mana-mana, tetaplah di sisiku, menemaniku, di kala gelap, di kala terang, seperti lentera abadi yang memberi pantulannya dengan setia.

E. Wahyuni & A. Afandi

***







1 komentar: