Jumat, 07 Desember 2012

GELAK TANGIS KELAS EKONOMI

*cerita ditulis ketika aku belum pernah naik pesawat terbang*


Tidak bermaksud narsis, namun banyak orang menilai saya adalah gadis manis. Gadis manis anak mama penurut luar biasa yang tidak pernah keluar rumah. Betulkah?
Bukan salah saya kalau dianugerahi fisik yang terlihat feminim. Don’t judge the book by it’s cover. Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat. Banyak orang terkejut saat tahu bahwa gadis ‘sekalem’ saya punya hobi mbolang kesana-kemari sendirian dengan sangat pedenya.
Ini adalah salah satu cerita saya waktu nge-backpacker ke Jogja seorang diri. Barangkali tidak masalah jika saya pergi ke Jogja dengan naik travel atau pesawat terbang yang pasti akan terlihat lebih berkelas dan elegan. Tapi terus terang, seumur hidup saya malah belum pernah naik travel, apalagi naik pesawat terbang.
Saya ingat betul, uang yang saya bawa waktu itu hanya Rp 150.000,00. Biaya ini harus saya atur sedemikian rupa untuk bisa makan selama beberapa hari sekaligus ongkos pulang. Biaya penginapan tidak menjadi beban sebab saya numpang di kos sahabat yang kuliah di Jogja.
Saya memakai sandal selop, celana jeans, jaket jumper, jilbab ringan langsung pakai, serta ransel yang berisi air mineral dan baju ganti. Melakukan perjalanan jauh tidak perlu rempong berpenampilan atau membawa barang bawaan, apalagi cuma buat naik kereta ekonomi. Semakin simple maka akan semakin mudah.
Perjalanan dimulai dari stasiun Blimbing, Kota Malang. Tidak ada jalur Malang-Jogja, saya harus transit di stasiun Kediri. Tiket Blimbing-Kediri adalah Rp 5.500,00 kala itu. Ada alasan khusus mengapa saya memilih stasiun Blimbing, sebab saya berangkat pada akhir pekan, di mana akan ada ribuan mahasiswa melaksanakan jadwal rutin mingguan pulang kampung dari stasiun Kotabaru. Jika saya naik dari stasiun Kotabaru, tentu rival saya bergelut untuk mendapat tempat duduk akan semakin banyak. Saya malas uyel-uyelan.
 Saya pilih KA Penataran pemberangkatan pukul tujuh pagi, niat saya agar kereta tidak penuh dan saya bisa lebih leluasa mendapat kursi. Stasiun Blimbing jauh lebih kecil dari Kotabaru. Dalam bayangan saya, akan banyak tempat duduk yang masih kosong. Namun ternyata angan saya nol besar. Kereta sangat penuh, bisa dibilang membludak. Saya berusaha naik, tapi tak tergapai. Kereta pelan-pelan sudah mulai bergerak. Petugas memberi pengumuman lewat corong pengeras suara agar penumpang tidak memaksakan diri dan naik kereta berikutnya saja.
Tidak bisa!
Jika saya naik kereta berikutnya, maka saya akan sampai di Jogja tengah malam buta. Ini akan sangat merepotkan. Akhirnya saya meminta seseorang menarik tangan saya agar bisa naik. Keringat mengucur deras. Dan yap! Akhirnya lantai kereta berhasil saya tapak.
 Astaga! Masih di muka pintu kereta saja saya sudah tak dapat bergerak. Overloaded!
Saya mempertahankan diri berdiri di sekitar pintu, menahan hembusan angin kereta yang melaju kencang sambil mendekap erat ransel yang saya panggul di bagian depan. Bermacam-macam bau saya hirup. Mulai dari bau keringat yang sangat masam, bau ketiak yang sangat menjijikkan, juga bau sayur dan minyak wangi yang memuakkan. Dua jam saya berdiri, hingga akhirnya ada tempat duduk kosong. Itupun sangat tidak nyaman, sebab saya duduk di samping lelaki yang begitu damainya mengebulkan asap rokok.
Akhirnya saya bisa menghirup udara segar ketika kereta menjejakkan roda di stasiun Kediri. Kereta saya selanjutnya adalah Kahuripan yang akan berangkat pukul tiga sore. Masih ada waktu sekitar dua setengah jam. Saya harus ke toilet untuk membasuh muka, rasanya tidak estetik sekali jika dilihat banyak orang dengan tampang kumal.
Setelah wajah kembali segar, saya harus mengisi perut, atau kalau tidak saya akan semaput. Berjibaku di KA Penataran telah menguras banyak energi. Saya pilih warung lesehan di halaman stasiun, di sini harga lebih murah daripada penjual makanan di dalam stasiun yang kerap pasang harga mencekik. Saya juga selalu menghindari membeli makanan yang dijajakan asongan dalam kereta. Konon, makanan yang dijual seringkali adalah makanan basi. Saya tidak tahu mitos ini benar atau tidak. Namun saya pernah sekali membeli, memang tidak basi, namun isinya sangat sedikit dengan rasa yang tidak karuan. Di lesehan, harga soto dan es degan total cuma Rp 8.000,00, nikmat dan sangat mengenyangkan.
Dua setengah jam adalah waktu yang sangat lama. Saya suka menghabiskan waktu ngrumpi dengan para pemilik warung. Hindari gengsi dalam bentuk apapun ketika sedang melakukan perjalanan. Bercengkerama dengan kakek-kakek tukang becak atau penjual bakso takkan memangkas harga diri. Pasang saja muka sok akrab meskipun tidak kenal. Jangan segan menanggapi pertanyaan atau membuka topik percakapan. Percayalah bahwa mereka bukan penjahat. Kalau tidak nyaman, lebih baik ngadem di mushola sambil men-charge HP. Sangat tidak lucu melakukan perjalanan jauh tapi HP lowbatt, pasti akan sangat membosankan.
Dan ups! Oh sebentar…
Selop saya menganga. Lem sandalnya sudah aus. Dengan jalan terseok saya mencari toko yang menjual sandal jepit. Sial sekali tidak ada. Bagaimana saya bisa berjalan dengan alas kaki seperti ini? Mau tidak mau saya harus mencari toko penjual lem super (alteco) untuk menambal selop yang sebenarnya sudah minta ganti. Kejadian ini menyentil saya bahwa ketika bepergian setidaknya saya harus membawa benda-benda kecil untuk mengatasi keadaan darurat semacam gunting, cutter, atau jarum dan benang.
Pukul setengah tiga, loket sudah dibuka. KA Kahuripan Kediri-Jogja waktu itu Rp 24.000,00. Setiap kali ke Jogja, saya selalu minta petugas untuk memilihkan tempat duduk hadap depan dekat jendela. Ini penting diperhatikan, sebab jika mendapat tempat duduk yang berlawanan dengan arah laju kereta saya sering merasa pusing dan mual. Duduk dekat jendela juga menguntungkan, selain bisa melihat pemandangan, juga bisa menyandarkan kepala ketika mengantuk. Ancaman duduk di dekat jendela biasanya adalah pelemparan batu hingga menyebabkan kaca pecah, namun saya belum pernah mengalami hal semacam ini.
KA Kahuripan menempuh perjalanan yang sangat panjang sebab pemberhentian terakhir adalah stasiun Padalarang, Bandung. Di kereta ekonomi ini saya sering menyimak banyak kisah dan cerita. Tanpa mengurangi kewaspadaan, sekali lagi tidak perlu segan berbincang dengan orang yang baru dikenal.
Kali ini di depan saya adalah seorang ibu yang gelisah. Saya lihat dia tidak membawa barang bawaan apapun. Aneh. Penumpang KA Kahuripan rata-rata akan turun di daerah Jawa Tengah atau Jawa Barat, mustahil pergi tanpa membawa tas. Matanya terlihat sembab, wajahnya nampak frustasi.
“Mau ke mana, Bu?” tanyaku mencoba bersahabat.
“Mencari anak saya, Mbak,” jawabnya hampir terisak.
Kemudian dia menunjukkan pas foto hitam putih yang sudah tak terlalu jelas. Nampak seorang remaja lelaki yang tidak terlalu jelek.
“Memang anaknya ke mana, Bu?” tanyaku lagi.
“Tidak tahu, Mbak. Sejak tiga hari dia tidak pulang.”
Ibu itu menceritakan bahwa anaknya menyandang keterbalakangan mental dan tunarungu. Dia sering bermain di sekitar stasiun. Ibu itu menduga anaknya turut bersama kereta. Yang tragis adalah Ibu itu tidak tahu anaknya terbawa kereta yang mana. Rasanya begitu terkesiap. Para penumpang yang satu blok tempat duduk dengan kami juga nampak begitu prihatin. Kemudian seorang lelaki tanggung di blok bangku seberang turut menyahut.
“Aku juga sedang mencari bapakku,” ujarnya.
“Bapakmu di mana?” tanya lelaki tua di sebelahku.
“Katanya sih di Tangerang,” jawab pemuda tanggung itu.
“Kok katanya?”
“Aku juga ndak tahu, kabar terakhir yang kudengar orange jualan bakso di Tangerang.”
“Sudah tahu alamatnya belum?” tanya lelaki tua di sebelahku lagi.
Ndak, aku cuma tau bapak ada di Tangerang.”
Aku menghela nafas. Pemuda itu sebenarnya lugu atau bodoh. Mencari orang di kota besar tanpa memegang alamat sama saja mencari jarum di tumpukan jerami.
Lalu satu per satu orang-orang yang duduk di blok bangku ini saling bercerita dan mencurahkan isi hati. Mereka bercerita dengan tulus, berbagi kisah hidup, tentang pekerjaan, keluarga hingga kondisi ekonomi. Gelak tawa sesekali terdengar, lalu berubah sendu ketika ada yang bercerita dengan tema sedih. Banyak sekali pelajaran hidup yang saya peroleh dari mereka.
Hanya di kereta ekonomilah puluhan makna-makna kehidupan bisa diambil dengan gratis. Kereta ekonomi bisa membuat saya lebih luwes memandang betapa sebenarnya saya telah diberi kenikmatan hidup tiada tara. Saya juga bisa melihat semangat sekaligus wajah lelah yang terpancar dari para asongan: bapak-bapak penjual nasi pecel, ibu-ibu penjual kopi seduh, dan seorang pemuda ganteng yang biasa jualan air mineral di sepanjang jalur Kertosono-Madiun. Inilah yang membuat saya ketagihan nge-backpaker lewat jalur kereta rakyat, sebab ada banyak hal berharga yang takkan didapat jika saya mbolang dengan travel atau pesawat terbang.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar