Tidak
bermaksud narsis, namun banyak orang menilai saya adalah gadis manis. Gadis
manis anak mama penurut luar biasa yang tidak pernah keluar rumah. Betulkah?
Bukan
salah saya kalau dianugerahi fisik yang terlihat feminim. Don’t judge the book by it’s cover. Begitulah kira-kira ungkapan
yang tepat. Banyak orang terkejut saat tahu bahwa gadis ‘sekalem’ saya punya
hobi mbolang kesana-kemari sendirian
dengan sangat pedenya.
Ini
adalah salah satu cerita saya waktu nge-backpacker
ke Jogja seorang diri. Barangkali tidak masalah jika saya pergi ke Jogja dengan
naik travel atau pesawat terbang yang pasti akan terlihat lebih berkelas dan
elegan. Tapi terus terang, seumur hidup saya malah belum pernah naik travel,
apalagi naik pesawat terbang.
Saya
ingat betul, uang yang saya bawa waktu itu hanya Rp 150.000,00. Biaya ini harus
saya atur sedemikian rupa untuk bisa makan selama beberapa hari sekaligus
ongkos pulang. Biaya penginapan tidak menjadi beban sebab saya numpang di kos
sahabat yang kuliah di Jogja.
Saya
memakai sandal selop, celana jeans, jaket jumper,
jilbab ringan langsung pakai, serta ransel yang berisi air mineral dan baju
ganti. Melakukan perjalanan jauh tidak perlu rempong berpenampilan atau membawa
barang bawaan, apalagi cuma buat naik kereta ekonomi. Semakin simple maka akan semakin mudah.
Perjalanan
dimulai dari stasiun Blimbing, Kota Malang. Tidak ada jalur Malang-Jogja, saya
harus transit di stasiun Kediri. Tiket Blimbing-Kediri adalah Rp 5.500,00 kala
itu. Ada alasan khusus mengapa saya memilih stasiun Blimbing, sebab saya
berangkat pada akhir pekan, di mana akan ada ribuan mahasiswa melaksanakan
jadwal rutin mingguan pulang kampung dari stasiun Kotabaru. Jika saya naik dari
stasiun Kotabaru, tentu rival saya bergelut untuk mendapat tempat duduk akan
semakin banyak. Saya malas uyel-uyelan.
Saya pilih KA Penataran pemberangkatan pukul
tujuh pagi, niat saya agar kereta tidak penuh dan saya bisa lebih leluasa
mendapat kursi. Stasiun Blimbing jauh lebih kecil dari Kotabaru. Dalam bayangan
saya, akan banyak tempat duduk yang masih kosong. Namun ternyata angan saya nol
besar. Kereta sangat penuh, bisa dibilang membludak. Saya berusaha naik, tapi
tak tergapai. Kereta pelan-pelan sudah mulai bergerak. Petugas memberi
pengumuman lewat corong pengeras suara agar penumpang tidak memaksakan diri dan
naik kereta berikutnya saja.
Tidak
bisa!
Jika
saya naik kereta berikutnya, maka saya akan sampai di Jogja tengah malam buta.
Ini akan sangat merepotkan. Akhirnya saya meminta seseorang menarik tangan saya
agar bisa naik. Keringat mengucur deras. Dan yap! Akhirnya lantai kereta
berhasil saya tapak.
Astaga! Masih di muka pintu kereta saja saya
sudah tak dapat bergerak. Overloaded!
Saya
mempertahankan diri berdiri di sekitar pintu, menahan hembusan angin kereta
yang melaju kencang sambil mendekap erat ransel yang saya panggul di bagian
depan. Bermacam-macam bau saya hirup. Mulai dari bau keringat yang sangat
masam, bau ketiak yang sangat menjijikkan, juga bau sayur dan minyak wangi yang
memuakkan. Dua jam saya berdiri, hingga akhirnya ada tempat duduk kosong.
Itupun sangat tidak nyaman, sebab saya duduk di samping lelaki yang begitu
damainya mengebulkan asap rokok.
Akhirnya
saya bisa menghirup udara segar ketika kereta menjejakkan roda di stasiun
Kediri. Kereta saya selanjutnya adalah Kahuripan yang akan berangkat pukul tiga
sore. Masih ada waktu sekitar dua setengah jam. Saya harus ke toilet untuk
membasuh muka, rasanya tidak estetik sekali jika dilihat banyak orang dengan tampang
kumal.
Setelah
wajah kembali segar, saya harus mengisi perut, atau kalau tidak saya akan
semaput. Berjibaku di KA Penataran telah menguras banyak energi. Saya pilih
warung lesehan di halaman stasiun, di sini harga lebih murah daripada penjual
makanan di dalam stasiun yang kerap pasang harga mencekik. Saya juga selalu
menghindari membeli makanan yang dijajakan asongan dalam kereta. Konon, makanan
yang dijual seringkali adalah makanan basi. Saya tidak tahu mitos ini benar
atau tidak. Namun saya pernah sekali membeli, memang tidak basi, namun isinya
sangat sedikit dengan rasa yang tidak karuan. Di lesehan, harga soto dan es
degan total cuma Rp 8.000,00, nikmat dan sangat mengenyangkan.
Dua setengah
jam adalah waktu yang sangat lama. Saya suka menghabiskan waktu ngrumpi dengan
para pemilik warung. Hindari gengsi dalam bentuk apapun ketika sedang melakukan
perjalanan. Bercengkerama dengan kakek-kakek tukang becak atau penjual bakso
takkan memangkas harga diri. Pasang saja muka sok akrab meskipun tidak kenal. Jangan
segan menanggapi pertanyaan atau membuka topik percakapan. Percayalah bahwa
mereka bukan penjahat. Kalau tidak nyaman, lebih baik ngadem di mushola sambil
men-charge HP. Sangat tidak lucu
melakukan perjalanan jauh tapi HP lowbatt,
pasti akan sangat membosankan.
Dan
ups! Oh sebentar…
Selop
saya menganga. Lem sandalnya sudah aus. Dengan jalan terseok saya mencari toko
yang menjual sandal jepit. Sial sekali tidak ada. Bagaimana saya bisa berjalan
dengan alas kaki seperti ini? Mau tidak mau saya harus mencari toko penjual lem
super (alteco) untuk menambal selop yang sebenarnya sudah minta ganti. Kejadian
ini menyentil saya bahwa ketika bepergian setidaknya saya harus membawa
benda-benda kecil untuk mengatasi keadaan darurat semacam gunting, cutter, atau jarum dan benang.
Pukul
setengah tiga, loket sudah dibuka. KA Kahuripan Kediri-Jogja waktu itu Rp
24.000,00. Setiap kali ke Jogja, saya selalu minta petugas untuk memilihkan tempat
duduk hadap depan dekat jendela. Ini penting diperhatikan, sebab jika mendapat
tempat duduk yang berlawanan dengan arah laju kereta saya sering merasa pusing
dan mual. Duduk dekat jendela juga menguntungkan, selain bisa melihat
pemandangan, juga bisa menyandarkan kepala ketika mengantuk. Ancaman duduk di
dekat jendela biasanya adalah pelemparan batu hingga menyebabkan kaca pecah,
namun saya belum pernah mengalami hal semacam ini.
KA
Kahuripan menempuh perjalanan yang sangat panjang sebab pemberhentian terakhir
adalah stasiun Padalarang, Bandung. Di kereta ekonomi ini saya sering menyimak
banyak kisah dan cerita. Tanpa mengurangi kewaspadaan, sekali lagi tidak perlu
segan berbincang dengan orang yang baru dikenal.
Kali
ini di depan saya adalah seorang ibu yang gelisah. Saya lihat dia tidak membawa
barang bawaan apapun. Aneh. Penumpang KA Kahuripan rata-rata akan turun di
daerah Jawa Tengah atau Jawa Barat, mustahil pergi tanpa membawa tas. Matanya
terlihat sembab, wajahnya nampak frustasi.
“Mau
ke mana, Bu?” tanyaku mencoba bersahabat.
“Mencari
anak saya, Mbak,” jawabnya hampir terisak.
Kemudian
dia menunjukkan pas foto hitam putih yang sudah tak terlalu jelas. Nampak
seorang remaja lelaki yang tidak terlalu jelek.
“Memang
anaknya ke mana, Bu?” tanyaku lagi.
“Tidak
tahu, Mbak. Sejak tiga hari dia tidak pulang.”
Ibu
itu menceritakan bahwa anaknya menyandang keterbalakangan mental dan tunarungu.
Dia sering bermain di sekitar stasiun. Ibu itu menduga anaknya turut bersama
kereta. Yang tragis adalah Ibu itu tidak tahu anaknya terbawa kereta yang mana.
Rasanya begitu terkesiap. Para penumpang yang satu blok tempat duduk dengan
kami juga nampak begitu prihatin. Kemudian seorang lelaki tanggung di blok
bangku seberang turut menyahut.
“Aku
juga sedang mencari bapakku,” ujarnya.
“Bapakmu
di mana?” tanya lelaki tua di sebelahku.
“Katanya
sih di Tangerang,” jawab pemuda tanggung itu.
“Kok
katanya?”
“Aku
juga ndak tahu, kabar terakhir yang
kudengar orange jualan bakso di
Tangerang.”
“Sudah
tahu alamatnya belum?” tanya lelaki tua di sebelahku lagi.
“Ndak, aku cuma tau bapak ada di
Tangerang.”
Aku
menghela nafas. Pemuda itu sebenarnya lugu atau bodoh. Mencari orang di kota
besar tanpa memegang alamat sama saja mencari jarum di tumpukan jerami.
Lalu
satu per satu orang-orang yang duduk di blok bangku ini saling bercerita dan
mencurahkan isi hati. Mereka bercerita dengan tulus, berbagi kisah hidup, tentang
pekerjaan, keluarga hingga kondisi ekonomi. Gelak tawa sesekali terdengar, lalu
berubah sendu ketika ada yang bercerita dengan tema sedih. Banyak sekali
pelajaran hidup yang saya peroleh dari mereka.
Hanya
di kereta ekonomilah puluhan makna-makna kehidupan bisa diambil dengan gratis. Kereta
ekonomi bisa membuat saya lebih luwes memandang betapa sebenarnya saya telah
diberi kenikmatan hidup tiada tara. Saya juga bisa melihat semangat sekaligus
wajah lelah yang terpancar dari para asongan: bapak-bapak penjual nasi pecel,
ibu-ibu penjual kopi seduh, dan seorang pemuda ganteng yang biasa jualan air
mineral di sepanjang jalur Kertosono-Madiun. Inilah yang membuat saya ketagihan
nge-backpaker lewat jalur kereta
rakyat, sebab ada banyak hal berharga yang takkan didapat jika saya mbolang dengan travel atau pesawat
terbang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar